Friday, January 21, 2005

Bulletin No: 004

Buletin Jum’at
AL IKHLAS
No: 004/I/2005 10 Zulhijjah 1425 H

Jejak - jejak Ibrahim as

Idul Adha disebut juga Hari Raya Kurban. Kurban yang dipersembahkan Ibrahim as pertanda kepatuhannya kepada Allah SWT dengan mengorbankan anak kesayangan satu-satunya Ismail as.

Dan peristiwa itu bertepatan dengan waktu Adha. Adha adalah waktu sesudah waktu Dhuha tapi belum masuk waktu lohor. Disaat itulah disuatu siang Ibrahim as mengurbankan Ismail as anak yang sangat dicintainya.
Sehingga Hari Raya itu disebut Hari Raya Kurban yang dilaksanakan pada saat waktu Adha. Disebut juga dengan hari Raya Haji. karena pada saat itu dilaksanakan ibadah haji.
Ibadah yang diawali dengan wukuf di Padang arafah. Sewaktu menuju Padang Arafah itu kita mengumandangkan Talbiah: “Labbaik Allahumma labbaik. la syarikalaka labbaik. Innal hamda, wanikmatalaka, walmulka lasyarikalaka"
Aku datang – aku datang memenuhi panggilanMu, Ya Allah. Untukmu segala puji, segala nikmat dan segala kerajaan. Tiada sekutu bagi_Mu.
Tiap kali kita dipanggilNya dan tiap kali pula kita penuhi panggilan itu. Setiap Jum’at, setiap sholat, setiap puasa dan setiap berkurban.
Siapa-siapa yang telah terbiasa memenuhi panggilan itu, nanti tidak canggung ketika memenuhi panggilan-Nya yang terakhir.
Arafah yang berarti pengenalan, mengenal kembali diri, mengenang kembali dosa-dosa yang pernah dikerjakan. Diharapkan para haji mengenal jati dirinya, menyadari kesalahannya, bertekad tidak mengulangi kesalahannya serta menyadari pula kebesaran dan keagungan penciptanya.
Maka sewaktu wukuf di Padang Arafah semua orang mengenang dan menyesali dosa-dosa yang pernah dibuat, dengan linangan dan deraian air mata yang bercucuran semua jemaah meratapi dan menyesali dosa-dosa yang pernah diperbuat. Semua orang hadir saat itu di Padang Arafah baik yang sehat maupun yang sakit, baik yang bersih maupun yang sedang haid. Semua berkumpul, semua berhimpun berwukuf merenung dan mengenang segala kesalahan dan kekhilafan selama ini.
Di Padang Arafah semua berpakaian Ihram, yaitu 2 helai kain putih yang tidak berjahit dan dengan kepala terbuka.
Andaikan ada yang menutup kepala, andaikan ada yang memasang topi atau mahkota sebagai pertanda dia Raja, maka ihramnya batal dan hajinya tidak diterima. Andaikan ada yang memakai tanda pangkat tandanya dia sebagai pejabat, atau bintang jasa didada, maka ihramnya akan batal dan hajinya ditolak.
Dengan pakaian yang sama dan tempat yang sama di Padang Arafah, tidak bisa kita membedakan mana orang kaya dan mana yang miskin, mana yang berpangkat dan mana rakyat jelata, semuanya sama. Melihat semua kemah yang berwarna putih dan pakaian jemaahnyapun putih-putih berpakaian ihram, seakan-akan berada di Padang Mashar waktu menghadap Tuhan. Seakan-akan ada isyarat jika menghadap Tuhan, lepaskanlah semua tanda kebesaran, hanya dua helai kain putih yang tak berjahit, dengan sangat sederhana kita menghadap Tuhan. Tinggi rendah seseorang ditentukan oleh Taqwanya.
Pakaian melahirkan perbedaan, dan menggambarkan status sosial, serta menimbulkan pengaruh psikologis, menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan menghapus keangkuhan yang di timbulkan oleh status sosial, mengenakan pakaian Ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya.
Wukuf dengan mengenang segenap dosa dan kesalahan yang pernah dibuat, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja , dosa besar ataupun dosa kecil. sebagaimana Adam dan Hawa mengakui dosanya di Padang Arafah. Memang di Padang Arafah inilah Adam dan Hawa bertemu kembali setelah berpisah selama 100 tahun dibukit Jabal Rahmah.
Sewaktu Adam dan Hawa bertemu, Hawalah yang pertama minta maaf. "Maafkan saya karena sayalah engkau terusir dari sorga, kesalahan sayalah yang menyebabkan engkau terbawa-bawa. Maafkanlah saya wahai junjunganku. Padahal di Sorga, apapun yang kita inginkan dapat kita peroleh, namun aku masih saja menginginkan yang lain". "Bukan demikian wahai Siti Hawa, kekasihku" Jawab Adam, "dalam hal memakan buah khuldi sebetulnya juga karena keinginanku, aku sebetulnya yang juga ingin merasakan bagaimana nikmatnya buah khuldi itu".
Berdua mereka juga sama-sama melakukan pengakuan dosa, dan mengucapakan doa yang terkenal yang tercantum dalam Al-Qur'an Rabbana Dhallamna anfusana, waillam taghfirlana watarhamna lanakunna na minal khasirin". Ya Allah kami telah aniaya pada diri kami sendiri, kalau bukanlah karena keampunan dan kasih sayangMu, tentulah kami kelompok pada orang-orang yang rugi.
Adam dan Hawa tobat, tobat yang sebenar benarnya tobat, menyesal dan tidak akan mengulang lagi kesalahannya. Dan telah ditebusnya kesalahannya dengan tercampak kedunia menderita bertahun-tahun.
Setiap kali seseorang membikin kesalahan berbuat dosa, selalu dapat nasehat "Bertobatlah, kembalilah padaNya, kembalilah kepada jalan Nya yang lurus dan yang benar. Mungkin selama ini telah jauh menyimpang, mungkin engkau telah tersesat, kembali, kembalilah ke jalanNya yang lurus dan benar, bacalah doa dalam Shalatmu "Ihdinas Shiratal Mustaqiim".Sayapun teringat akan petuah Sang guru sewaktu saya melakukan kesalahan : "Wahai anakku, Kembalilah dan datanglah lagi kepada Nya, nanti akan dibukakan Nya rahasia besar dan terlindung yang selama ini tak kau ketahui. Pintunya senantiasa terbuka, datanglah pada Nya, sekali-kali Dia tak akan pernah mengecewakannmu, bertobatlah".
Tobat berarti menyesal, atau kembali. Dengan menyesali keadaan dan kejadian yang telah berlalu. Tobat kepada Allah mengandung arti antara lain kembali atau datang kepadaNya dengan perasaan menyesal atas perbuatan atau sikap diri yang tidak benar di masa lalu dan dengan tekad untuk taat kepada Nya, dengan kata lain ia mengandung arti kembali pada sikap perbuatan yang lebih baik dan lebih benar.
Nah, di bulan Haji tahun ini, agaknya kesempatan bagi kita untuk merenung sejenak, segala dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Menghitung dan menghisab diri sebelum di lakukan perhitungan kelak, Dan memasang serta meluruskan niat yang sungguh-sungguh akan merobah sifat yang mewarnai diri, berjanji dan bertobat untuk tidak mengulanginya.lagi. Tobat yang diinginkan itu adalah tobat yang sungguh-sungguh yang disebut dengan Tobatan nasuha. Yakni tobat tanpa keinginan lagi kembali kepada kesalahan atau kekeliruan yang sebelumnya di perbuat. Setiap Tobat yang sungguh-sungguh dengan niat yang tulus dan ikhlas, niscaya disambut Tuhan dengan senang, Karena Dia adalah penerima tobat dan senang pada orang yang terus-menerus bertobat. Untuk itu saya teringat akan sebuah Firman suci Nya dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 104 : "Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah menerima Tobat dari hambaNya dan menerima saksi dan bahwasanya Allah Maha peneriam Tobat lagi maha Penyayang".
Selesai melaksanakan ibadah di Padang Arafah, malamnya kita berangkat untuk mabid di Muzdhalifah. Memilih batu-batu kecil. Ibarat peluru yang dipersiapkan untuk dilemparkan pada Iblis di Jumratul Ula, Wustha dan Aqabah. Peristiwa ini menggambarkan dan mengulang kembali peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim as A.S. Seperti terbaca dalam sebuah Firman SuciNya dalam Al-Qur'an.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim as. Ibrahim as berkata :" Wahai anakku, aku telah melihat dalam mimpiku, bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu." Ismail as menjawab :"Wahai ayahku. laksanakanlah perintah Allah itu, ayah akan dapati aku sebagai orang yang sabar."(QS. 37:102).
Sebagai ayah sebetulnya Ibrahim as berkuasa atas anaknya, tiada seorangpun yang bisa membantah atau melarang apa yang dilakukannya pada anaknya, dia berkuasa penuh, mau dihitamkan atau diputihkan terserah dia. Sebagai Rasul dan nabi Ibrahim as harus segera menjalankan perintah Allah. Apalagi dia jelas menerima wahyu dan perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya sebagai kurban, namun dia tetap meminta kepada anak-nya, menyuruh fikirkan dan berdialog. Tidak terlihat sedikitpun dalam peristiwa itu unsur pemaksaan dan tak terlihat sedikitpun bahwa Ibrahim as memperlihatkan kekuasaannya sebagai ayah serta dia mau menjalankan perintah semaunya sendiri. Dia bermusyawarah, diajaknya anaknya yang terkena akibat perintah itu untuk mencari jalan dan ikut memutuskan.
Dalam ayat ini menggambarkan kepemimpinan Nabi Ibrahim as, sewaktu dapat wahyu dari Allah SWT yang memerintahkan beliau agar menyembelih anak kandungnya Ismail as as. Ibrahim as menyampaikan wahyu Allah itu kepada Ismail as, dengan cara yang sangat mengharukan.
Ibrahim as ternyata menanyakan dulu pendapat anaknya, Ismail as. disertai nasehat agar Ismail as memikirkan sendiri, makna perintah Allah itu. Baru sesudah itu perintah itu terlaksana berdasarkan keputusan bersama antara sang ayah dan sang anak. Bukan semata-mata keputusan sang ayah, yang dalam hal ini bertindak sebagai atasan atau pimpinan.
Cara Ibrahim as ini dalan manajemen modern ternyata sangat menentukan keberhasilan setiap pemimpin, karena anak buah merasakan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang dibebankan, sehingga komitmen mereka semakin tinggi dan motivasi merekapun akan sangat tinggi. Dengan demikian setiap orang akan memberikan partisipasinya dalam menjalankan setiap keputusan.
Betapa tingginya partisipasi itu terlihat dalam kisah Ibrahim as dan Ismail as sewaktu akan melaksanakan penyemblihan itu, agar penyembelihan itu berjalan lancar. Berkata Ismail as kepada ayahnya :"Wahai ayahku, sebelum penyembelihan dilaksanakan ada 3 permohonanku padamu :
1. Tolong asah pisau tajam-tajam agar proses penyembelihan itu bisa berjalan lancar.
2. Tolong ikat kaki dan tanganku agar engkau tidak melihat aku menggelepar-gelepar.
3. Bajuku yang berlumuran darah nantinya, tolong berikan kepada ibuku, agar beliau tahu, bahwa saya adalah anaknya yang berbakti pada orang tua.
Dengan membawa serta bawahan mengambil keputusan, maka pekerjaan yang akan dilaksanakan itu akan semakin tinggi efesien dan efektivitasnya. Sehingga ketika iblis menggoda ingin membatalkan perintah itu di jumratul Ula dengan membujuk Ismail as dan Ibrahim as dengan mengatakan, tak mungkinTuhan sekejam itu memerintahkan sembelih anak, langsung Ismail as menjawab dan meminta agar ayahnya terus melaksanakan perintah Tuhan Itu. Demikian pula sewaktu anak dan ayah ini di goda di jumratul Wustha dan jumratul Aqabah. Anak dan ayah ini tak mempan dengan bujukkan dan rayuan Iblis dan syetan. Sehingga akhirnya kedua anak dan ayah itu sampai ketempat penyembelihan. Setelah pisau diasah tajam-tajam, kaki dan tangan Ismail as dikat agar dia tidak menggelepar, dan disaat Ibrahim as menempelkan pisau yang tajam keleher anaknya dan akan menggorohnya. Ketika itulah Tuhan mengganti Ismail as dengan seekor kibas. Cukup Ibrahim as pengorbananmu sudah di terima. Sesungguhnya Kata Tuhan :"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tapi ke taqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. Surat Al-Haji ayat 37.
Di Jumratul Ula iblis di lempar dengan batu, demikian pula di Jumratul Wustha dan Jumratul Aqabah. Ini pulalah yang di syariatkan dalam menunaikan ibadah Haji; melempar di Mina, di jumaratul ULa, Wustha dan 'Aqabah. Dan disini pulalah perjuangan yang sangat berat sewaktu menunaikan ibadah Haji, disini pulahlah orang banyak mati, mati terinjak-injak dan bermacam cobaan dan godaan justru banyak terjadi waktu melempar ini. Kitapun belum melupakan kurban yang jatuh waktu di Terowongan Al Mu'asyim beberapa tahun yang silam.
Memang cobaan dan godaan sewaktu menunaikan ibadah Haji sangat banyak dan sangat berat, maka dituntut bagi siapa yang menunaikan ibadah Haji ke tulus dan keikhlasan, bahwa Ibadah Haji yang di kerjakan itu semata-mata hanya karena Allah, bukan karena apa dan siapa.
Setiap ibadah, baru sah jika dibarengi dengan niat karena Allah , dan itupun diulangi sekali lagi ketika kitab suci itu berbicara tentang haji dan umrah Surat Al-Baqarah ayat 196:"Dan sempurnakanlah ibadah Haji dan umrah karena Allah"
Rupanya jemaah Haji dituntut pertama kali untuk meluruskan niatnya. Tuntutan dan tuntunan ini wajar, karena cukup banyak godaan yang dapat mengalihkan niat suci itu. Bukan saja perjalanan ke tanah suci" atau gelar "haji" yang bakal disandang, tetapi juga status sosial yang sedikit atau banyak dapat meningkat.
Ka'bah merupakan lambang dan wujud keesaan Allah, bertawaf di kelilingnya melambangkan aktivitas manusia yang tidak pernah terlepas dari pada_Nya. Ka'bah bagaikan matahari yang menjadi pusat tata surya dan di kelilingi oleh planet-planetnya. Ka'bah adalah rumah ibadah yang pertama sekali didirikan seperti terbaca dalam Surat Ali Imran ayat 96 :"Sesungguhnyarumah yang mula-mula di bangun untuk tempat beribadat manusia ialah Baitullah yang di Mekah yang di berkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, diantaranya Maqam Ibrahim as; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam".Dengan bertawaf disana, seseorang mengikat janji untuk menjadikan segala aktifitasnya terikat oleh daya tarik pusat wujud ini, Yakni Allah S.w.t.
Sa'i yang berarti adalah usaha adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi, bukankah Hajar Ibu Ismail as as mondar mandir disana mencari air untuk putranya. Dengan ber sa'i bertekad untuk tidak berpangku tangan menanti turunnya "hujan" tetapi tekadnya itu berangkat dari Shafa yang arti harfiahnya kesucian dan ketegaran dan berakhir di Marwah yang artinya "kepuasan sikap menghargai bermurah hati dan memaafkan" Sehingga jika kembalinya nanti usahanya masih berangkat dari kekotoran dan atau tidak bermuara pada ketaqwaan, penghargaan dan kemurahan hati, maka jauhlah panggang dari api.
Bulan Zulhijjah adalah bulan pengorbanan, bulan peningkatan keikhlasan, peningkatan amal saleh, peningkatan kerja. "Selesai menunaikan Shalat, bertebaranlah dimuka bumi, cari rezki Allah", bekerja dan ber usaha. "Bila engkau selesai dari satu pekerjaan kerjakan pekerjaan yang lain" perintah Tuhan dalam sebuah ayatNya.
Jadi ketika menunaikan Ibadah Haji, seakan-akan kita di bawa menyelusuri dan menapaki jejak-jejak sejarah yang telah diukir oleh Nabi Ibrahim as bersama keluarganya.Kalau tidak demikian, yakinlah bahwa anda belum menunaikan ibadah haji. Memang anda telah berkunjung ke Mekkah, tetapi belum melakukan Thawaf. Anda telah membeli kegersangan Padang Pasir, tetapi anda belum tiba lagi di Arafah.
Untuk semua itu, bagi yang akan menunaikan ibadah Haji, Marilah kita luruskan niat, bahwa ibadah Haji hanya semata-mata ihklas karena Allah, sesuai dengan Firman Suci_Nya dalam Al_Qur'an surat Al_Baqarah ayat 196: ”Sempurnakanlah ibadah Haji dan Umroh karena Allah…”
Wallahu a’lam bis shawab.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home