Wednesday, April 20, 2005

Sunan Bonang - Tombo Ati

Sunan Bonang
Berdakwah dengan Tembang 'Tombo Ati'
Tombo ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Quran lan maknane
Kaping pindho sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat weteng iro ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Obat hati ada lime perkaranya
Yang pertama baca Quran dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perpanjanglah
Salah satunya, siapa bisa menjalaniMoga-moga Gusti Allah mencukupi


Raden Maulana Makdum Ibrahim, atau yang lantas dikenal dengan Sunan Bonang, adalah putra dan sekaligus murid dari Sunan Ampel. Dan di daerah Jawa Timur merupakan wilayah di mana Sunan Bonang berjuang menyebarkan agama Islam.

Ibu beliau bernama Nyai Ageng Manila, seorang putri dari Arya Teja, seorang Tumenggung kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Berdasarkan catatan sejarah, Sunan Bonang dilahirkan tahun 1465 M. Semasa hidupnya dia gigih menyebarkan agama Islam, terutama di daerah Tuban dan sekitarnya.
Semasa kecilnya, Sunan Bonang belajar agama di pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana dan berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Pada awalnya ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Beberapa tahun kemudian, beliau menetap di desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di sana dia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Seperti ayahnya, Sunan Bonang mendirikan pondok pesantren untuk mendidik kader-kader Islam yang akan menyiarkan Islam ke seluruh tanah Jawa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mencoba mengeliminir kepercayaan rakyat Jawa kala itu yang kental dengan pengaruh Hindu-nya.
Misalnya, beliau menciptakan gending Dharma dan mengganti nama-nama hari nahas/sial menurut kepercayaan Hindu. Nama-nama dewa Hindu diganti dengan nama-nama malaikat serta nabi-nabi.
Di samping itu, upaya tersebut dimaksudkan untuk mendekati hati rakyat untuk menamankan nilai-nilai ajaran Islam. Beliau termasuk pendukung kerajaan Islam Demak dan membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro Demak.
Ia kemudian dikenal sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meski begitu, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya berkelana ke daerah terpencil. Daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean, adalah tempat dimana Sunan Bonang kerap berkunjung.
Ajaran Sunan Bonang merupakan perpaduan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ini tentu berbeda dengan Sunan Giri yang lugas dalam fikih-nya.
Filsafat 'cinta'('isyq), yang sangat mirip dan cenderung ke Jalalludin Rumi, adalah inti ajaran dari Sunan Bonang. Menurut pendapatnya, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq-ul yaqqin.
Mengenai filsafat Ketuhanan yang diajarkannya, "Pendirian saya, bahwa imam tauhid dan makrifat itu terdiri dari pengetahuan yang sempurna. Sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu.
Maksud saya bahwa kesempurnaan baru akan tercapai dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan. Seseorang itu tiada mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri, dan seseorang itu adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya datang dari Allah."
Selain itu, Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Yang terkenal di antaranya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluk-nya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau, atau burung laut, pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi, serta Hamzah Fansuri.
Kalimat pada Suluk Sunan Bonang yang berbahasa prosa Jawa Tengah-an, agak terpengaruh oleh bahasa Arab. Kitab ini berisi kumpulan catatan dari pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan Sunan Bonang kepada murid-muridnya.
Di dalam dongeng-dongeng diceritakan, pada suatu ketika pernah ada seorang pendeta Hindu datang untuk mengajak berdebat Sunan Bonang. Setelah sekian waktu mereka saling debat, pendapat-pendapat Sunan Bonang seolah tidak terbantahkan dan membuat sang pendeta tadi takjub. Hingga kemudian pendeta Hindu tersebut bertaubat dan menyatakan diri masuk Islam.
Ajaran tersebut disampaikan secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat ketika itu. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan salah satu muridnya, Sunan Kalijaga.
Gamelan Jawa yang saat itu kental estetika Hindu, digubahnya dengan memberi nuansa baru. Dia menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, yakni dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahan gamelan Sunan Bonang memiliki nuansa zikir guna mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai kini, tembang tersebut masih banyak dinyanyikan karena sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pada pentas pewayangan, Sunan Bonang terkenal sebagai seorang dalang yang piawai hingga menarik minat masyarakat banyak. Kegemarannya adalah menggubah lakon wayang serta memasukkan tafsir-tafsir Islam. Misalnya, cerita pertentangan antara keluarga Pandawa-Kurawa, ditafsirkan sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
Semasa hidupnya, dikatakan Sunan Bonang pernah belajar ke Pasai. Sepulang dari sana, beliau memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan keraton Majapahit. Dia pun mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul para muridnya.
Perjuangan Sunan Bonang diarahkan pada menanamkan pengaruh ke dalam. Siasatnya adalah memberikan didikan Islam kepada Raden Patah, putra Raja Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan Demak sebagai tempat untuk pendirian negara Islam.
Sunan Bonang akhirnya berhasil mewujudkan cita-citanya mendirikan kerajaan Islam di Demak. Hanya saja harapan beliau agar Demak menjadi pusat agama Islam untuk selama-selamanya tampaknya kurang berhasil.
Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525 M di Pulau Bawean. Dan kini jenazahnya dimakamkan di sebelah barat Masjid Agung, Tuban, setelah sempat menjadi 'perebutan' masyarakat Pulau Bawean dan Tuban. yus/berbagaisumber

0 Comments:

Post a Comment

<< Home