Thursday, June 30, 2005

Futur

Futur
.
.
Sebuah istilah yang menggambarkan kondisi ruhiyyah seseorang yang sedang menurun. Atau dengan istilah yang lebih sederhana, futur ialah "penurunan semangat beribadah."
.
Ketika seseorang yang biasa bersemangat menamatkan Al-Qur'an satu juz dalam satu hari, kemudian menurun atau tiba-tiba kehilangan semangat membaca Al-Qur'an, maka itulah futur. Atau juga ketika seseorang yang jiwa sosialnya tinggi, perhatian dan peka terhadap kondisi saudara-saudaranya se-aqidah, suatu waktu ia merasa berat dan tidak mampu memperhatikan orang lain, kepekaannya menurun, egonya meningkat, dan bahkan berdiam diri ketika saudaranya sedang membutuhkan pertolongan. Atau fenomena lain dari futur adalah ketika orang yang senantiasa melakukan amar ma'ruf nahyi munkar, tapi -suatu waktu - kemudian semangat amalnya menurun dan bahkan mungkin -ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan - akhirnya ia sendiri melakukan penyimpangan-penyimpangan amal.
.
Memang, futur itu memiliki tingkatan-tingkatan. Ada futur yang masih tergolong rendah dan ada futur yang sifatnya kronis.
.
Futur yang terbilang rendah, biasanya tergambar dalam penurunan kualitas dan kuantitas ibadahnya saja. Artinya ia masih berada di rel yang benar, ia masih mengikuti gerbong Al-Qur'an dan as-Sunah. Meskipun, kadang ia tertatih-tatih di rel itu, dan bahkan teringgal di belakang. Futur yang seperti ini, pada permulaannya memang tidak terlalu berbahaya, karena hal itu merupakan tabiat manusia, bahkan itulah -mungkin- yang dimaksud dengan al-imanu yazidu wa yanqusu, Iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang. Fluktuatif keimanan merupakan hal yang wajar bagi setiap orang, karena tidak ada di dunia ini manusia yang selamanya benar, seperti halnya tidak ada yang selamanya salah.Akan tetapi, ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan dalam rentang waktu yang cukup lama, maka tentu saja lambat laun ia akan merosot dan terus merosot. Kualitas keimanannya semakin lama akan semakin rendah dan lemah. Dan bahkan mungkin saja, ia akhirnya terperosok pada futur "skala tinggi." Bukan hanya penurunan kuantitas dan kualitas ibadahnya saja yang nampak pada dirinya, akan tetapi, lebih besar dari itu, ia tidak lagi berada pada rel ketaatan. Ke-futur-annya digambarkan dengan beralihnya taat menjadi maksiat, pahala dengan dosa. Na'udzubillah min dzalik.
.
Memang, manusia tidak ada yang bisa lepas dari kesalahan. Setiap orang pasti ada yang pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena ia bukanlah malaikat yang senantiasa patuh dan taat kepada Allah. Hal ini, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya; "Setiap Bani Adam itu pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat."Akan tetapi, kalau kita cermati lagi hadits di atas, sebenarnya yang menjadi titik permasalahannya -dan itu yang sering tidak kita perhatikan- adalah ada atau tidaknya proses taubat yang dilakukan oleh orang yang telah berbuat kesalahan tersebut. Oleh karena itu, kesalahan -dalam batasan tertentu - bagi manusia merupakan sebuah kewajaran, akan tetapi terus menerus dan terlena dalam kesalahan tersebut merupakan ketidakwajaran.Hal ini pun secara jelas telah disebutkan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an, Ia berfirman; "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS 4:17)Taubat inilah yang menjadi standarnya. Oleh karena itu ketika dalam kesalahannya ia tidak segera bertaubat (kembali pada Allah), maka kesalahannya itu bukanlah sebuah kewajaran lagi. Allah berfirman, "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS 4:18)Kembali pada permasalahan futur, maka sebenarnya yang diperlukan oleh seorang muslim adalah komitmen dan keistiqamahan dalam setiap amal. Dan tentu saja semuanya harus dibarengi dengan bertahap dan tidak berlebihan (ghuluw).
.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, "Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, "Dan juga kamu Ya . Rasulullah, Beliau bersabda, "Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya." (H.R. Muslim).Oleh karena itu, ketika ia mengalami ke-futur-an pun, maka futur-nya itu tidak keluar dari "rel yang benar", dan ia tidak melakukan sebuah penyimpangan amal. Dalam sebuah hadits pun disebutkan bahwa futur merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan batasan juhud (kesungguhan beramal) seseorang, ada yang tetap berada dalam bi'ah imaniyyah, ada juga yang keluar dari rel dan berbuat penyimpangan.Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, "Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami ke-futur-an (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futur-nya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futur-nya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka." (HR Imam Ahmad)Selain dari itu, perjuangan melawan futur harus dimulai dari hati. Karena hati merupakan pusat dari segalanya, sebagaimana dalam hadits, "Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya". Kebeningan hati dan ketulusan iman serta keikhlasan berdoa merupakan senjata ampuh untuk mengikis futur dan mengembalikannya kepada ghirah dan hamasah beramal yang tinggi.Maka, di sinilah pentingnya kita senantiasa mengontrol kondisi ruhiyyah-nya, menimbangnya dengan timbangan-timbangan amal keseharian, sehingga ia bisa segera menyadari apa yang sedang terjadi pada ruhiyyah-nya.
.
Wallahu a'lam
Haris Ramlan

Wednesday, June 22, 2005

ITSAR

Menanamkan Sikap Persaudaraan Kaum Muslim



ust. Ahmad Baraghbah


Pada awal pembicaraan saya ini, saya akan memulai dengan sebuah riwayat yang nampaknya diakui kesahihannya oleh ulama-ulama besar kita. Setidaknya ini bisa dilihat pada kitab Al-Mahajjat Al-Baidha fi Tahdzib Al-Ihya' sebuah komentar dari ulama Ahlul Bait atas kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali.
Di tengah-tengah pembahasan mengenai haji dan rahasia-rahasianya, dinukil sebuah hadis yang menyatakan : "Nanti di akhir zaman, orang-orang yang pergi haji itu ada empat golongan. Yang pertama, para penguasanya yang pergi hajinya itu untuk piknik saja, untuk berdarmawisata. Yang kedua, orang-orang kaya yang pergi berhajinya untuk kepentingan bisnis. Yang ketiga, orang fakir miskin yang pergi berhajinya itu untuk meminta-minta, untuk mencari rezeki di sana. Yang keempat, ahli-ahli qari, yakni ulama yang pergi berhaji untuk sum'ah." Sum'ah adalah saudara kandung riya'. Kalau riya' ingin dipuji orang karena dilihat, sedang sum'ah ingin dipuji orang karena didengar.
Itulah pernyataan dari Rasulullah Saww, tapi ada orang yang mengatakan sekarang bukanlah akhir zaman. Itu akan terjadi pada akhir zaman [di mana muncul empat golongan manusia yang berhaji]. Bahkan sebetulnya bukan di akhir zaman saja, karena riwayat yang cukup terkenal dari Imam 'Ali Zainal 'Abidin As-Sajjad as. menunjukkan bahwa ketika beliau melihat banyak orang orang yang menunaikan ibadah haji, beliau mengatakan, "Alangkah banyaknya hiruk-pikuk, tapi alangkah sedikit yang pergi haji."
Kita mengetahui bahwa misi Rasulullah Saww diutus ke dunia ini antara lain sebagai yang membawa kabar gembira dan memberi ancaman. Kita kaum Muslimin harus seimbang berada di tengah-tengah antara takut dan harapan. Kita berharap mendapatkan rahmat, ampunan, dan cucuran pertolongan dari Allah Swt., tapi kita pun harus khawatir jangan-jangan ibadah kita ini semua ditolak oleh Allah Swt. Karena ada riwayat terkenal yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saww. sendiri ketika akan menghadap Allah, shalat, wajah suci menjadi pucat.
Imam 'Ali Zainal Abidin dan juga tokoh-tokoh besar yang lain, diceritakan dalam kitab-kitab sejarah begitu bergetar dan pucat pasi wajahnya ketika akan mengucapkan talbiyah misalnya Labbaik Allahumma labbaik. Ketika ada yang bertanya kepada Imam 'Ali Zainal 'Abidin, "Kenapa Anda ini pucat bahkan sampai pingsan ?" Imam As-Sajjad menjawab, "Aku khawatir ucapanku ini ditolak oleh Allah Swt."
Semakin manusia mencapai puncak keimanannya, kepada maqam yang sangat tinggi, semakin dia merasa takut kepada Allah Swt. dan sebaliknya semakin rendah kedudukan manusia, semakin tidak punya rasa takut kepada Allah Swt. Karena itu, kita melihat bagaimana Rasulullah Saww. senantiasa beristighfar puluhan kali bahkan ratusan kali kepada Alah Swt. Kita, kalau membaca doa Kumayl, misalnya, betapa Amirul Mukminin begitu menampak-kan"dosanya", menampakkan kelemahannya di hadapan Allah Swt. Padahal kita tahu bahwa beliau termasuk manusia suci, ma'shum, manusia yang dibersihkan [dari dosa dan kesalahan] oleh Allah Swt. Tapi semakin bersih manusia itu, semakin dia merasa banyak berlumuran dengan dosa. Yang bahaya adalah ketika manusia sudah merasa dirinya suci, merasa dirinya bersih. A'udzubillahi min dzalik.
Jadi, ibadah itu saling berkaitan. Tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya. Terutama ibadah haji. Ibadah haji termasuk ibadah yang lengkap. Saya sebetulnya tidak akan membahas soal haji. Namun, karena kebetulan, saat ini sedang diributkan soal haji. Dalam ibadah haji, ada ibadah shalat, jihad, pengorbanan, sedekah, bahkan dalam beberapa hal diwajibkan berpuasa.
Ibadah haji adalah ibadah yang lengkap karena didalamnya ada itsar yakni mementingkan orang lain dan kita perhatikan bagaimana syariat mengajarkan kepada umat ini supaya ibadah ini jangan kosong, atau hampa. Tapi harus ada maknanya. Yang penting semua ibadah ini mengantarkan manusia kepada kesucian jiwa dan kebersihan hati. Karena hal itu misi Rasulullah juga. Bahkan dalam surat Al-Jum'ah, misi untuk menyucikan jiwa didahulukan daripada mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah. Nampaknya tidak mungkin Al-Kitab dan Al-Hikmah itu masuk dalam hati sanubari seseorang, kalau jiwanya belum bersih.
Saya ingin menyampaikan secara ringkas isi kitab yang ditulis oleh seorang alim besar, Sayyid Abdullah Subar, yang terkenal dengan karyanya yang begitu banyak dan bermutu. Beliau meninggal dalam usia yang cukup muda.
Pernah murid-murid dekat beliau menceritakan bahwa beliau pernah menyampaikan pengalamannya yang bermimpi berjumpa dengan Imam Musa Al-Kazhim. Perlu diketahui beliau tinggal dekat makam Imam Musa Al-Kazhim di Kazhimiyyah, Baghdad. Dalam mimpinya, Imam Musa menghadiahkan sebuah pena, lalu me-ngatakan : : "Tulislah !" Hal itu pernah beliau ceritakan
kepada murid-murid de-katnya dan ternyata me-mang betul bahwa mung-kin ratusan karya tulis be-liau ini, yang sampai sekarang banyak jadi rujukan di kalangan Hau-zah Ilmiyyah, di kalangan masyarakat Ahlul Bait. Jadi beliau menulis tentang akhlak yakni mengenai ba-gaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama ikhwan. Ini penting sekali karena ternyata ibadah, katakanlah semacam puasa, semacam haji dan lain sebagainya, yang begitu dijunjung tinggi oleh syari'ah, ternyata perlakuan kepada sesama ikhwan ini juga tidak kalah hebatnya dijunjung tinggi oleh Islam.
Dikatakan di sini ada hak-hak yang mesti dipenuhi, dalam kehidupan masyarakat, dalam bermuamalah dengan al-ikhwan dan juga dalam persahabatan. Hadis terkenal menyebutkan : "Mukmin itu
saudara Mukmin, satu ayah dan satu ibu. Walaupun tidak dilahirkan oleh ibunya, tidak dilahirkan oleh ayahnya, tapi dia adalah saudaranya."
Dan pengertian akh (ikhwan) di sini diterangkan, bagaimana disebutkan kelanjutan dari hadis itu, "Terkutuklah orang yang menuduh saudaranya." Kemudian, "Terkutuklah orang yang menipu saudaranya." Kemudian berikutnya, "Terkutuklah orang yang mengumpat, yang menggunjing saudaranya." Dan yang terakhir, "Terkutuklah orang yang tidak mau menasihati saudaranya."
Ini mungkin sudah sering kita dengar dan begitu berat memang. Karena itulah bagaimana kita selalu merasa berdosa, bagaimana kalau kita berdoa kita meneteskan air mata kita, karena kita khawatir kita tidak akan mampu menunaikan kewajiban kita terhadap sesama ikhwan.
Terkutuklah yang tidak mau menasihati saudaranya dan tentunya lebih terkutuk lagi, kalau sudah dinasihati tidak mau menerima. Namun tentunya tidak etis kalau seorang saudara itu kerjanya menasihati saja. Sedikit-sedikit nasihat, sedikit-sedikit nasihat. Jadi nasihat ini pun mesti pada tempatnya. Segala sesuatu itu mesti pada tempatnya. Barang yang jelas-jelas baik sekalipun, kalau diletakkan bukan pada tempatnya jelas menjadi terbalik.
Di sini yang pertama sekali disebutkan oleh beliau adalah masalah harta, masalah al-maal. Bagaimana kita bersikap terhadap harta kita dalam hidup bersama-sama dengan ikhwan. Beliau sebutkan ini ada tiga tingkatan yang semuanya itu baik. Tingkatan yang rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi. Namun setelah kita baca nampaknya yang paling rendah pun kita susah untuk melaksanakannya.
Yang paling rendah adalah disebutkan di sini, kita anggap ikhwan kita ini, saudara kita ini, bagaikan khadim kita, bagaikan pelayan kita atau bahkan bagaikan abid kita, bagaikan budak kita atau hamba sahaya kita. Berarti kalau kita anggap dia sebagai pelayan kita, mesti kita cukupi keperluannya tanpa dia harus meminta.
Sebagaimana kita memperlakukan pelayan kita, makannya mesti kita perhatikan, pakaiannya mesti kita perhatikan. Bahkan seorang Muslim yang baik itu jangan sampai pembantunya makannya berbeda dengan majikannya. Yang begitulah akhlak Islam. Jangan majikannya kalau makan beras yang harganya Rp 1500,00, pembantunya dikasih yang harganya Rp 700, 00 saja misalnya. Ini pun sudah diangggap tercela. Namun, kalau kebutuhan ini sudah dipenuhi, itu sudah suatu akhlak yang baik. Jadi, itulah sikap pertama yang paling rendah.
Yang menengah, tingkatan kedua, kita anggap saudara kita ini bagaikan diri kita sendiri. Apa yang membuat kita senang, kita usahakan kita berikan juga kepada dia supaya dia senang. Ini berat sekali, apa yang kita pakai kita berikan juga kepada ikhwan kita supaya memakainya pula. Bukan sebagai pelayan lagi tapi bagaikan diri kita sendiri. Ini saja rasanya sudah mustahil, padahal ini baru tingkatan kedua.
Tingkatan ketiga, kita anggap saudara kita lebih penting daripada kita sendiri. Ini yang dikatakan sebagai itsar, yakni lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun dia sangat memerlukan. Sifat itsar ini hanya dimiliki para nabi dan para wali. Mungkin orang-orang selain nabi dan wali itu bisa itsar, tapi belum sampai kepada tingkatan malakah. Masih hal saja. Mungkin hari ini itsar, besok tidak lagi. Besoknya itsar, besoknya tidak lagi. [Jadi sifatnya temporal]. Kalau sudah jadi malakah, ini dijamin menjadi wali Allah Swt. Kalau betul-betul ikhlas dia memiliki sifat itsar dan sudah kokoh dalam jiwanya.
Kemudian yang berikutnya disebutkan di sini, berusaha membantu dengan segenap jiwanya dalam menunaikan hajat saudaranya dan ini pun bertingkat-tingkat. Ada orang yang mau membantu kalau diminta saja. Ada yang dia sudah tahu tanpa diminta dia membantu. Tentu derajatnya lain. Dan hadirin sekalian tentang menunaikan hajat orang Mukmin ini, wah sangat besar sekali pahalanya. Maka menunaikan hajat seorang Mukmin itu sepuluh kali lipat pahalanya daripada thawaf. Terdapat hadis-hadis di kalangan Ahlul Bait yang mengatakan demikian.
Diceritakan ada seorang yang ingin minta tolong kepada Imam Husain as., tapi kemudian dia lihat Imam Husain sedang melakukan thawaf, dia tidak jadi mengutarakan kebutuhannya. Lalu dia pun menghadap Imam Hasan as., kakak Imam Husain. Tidak disebutkan keperluannya apa, rupanya masalah yang cukup besar ini, kok harus Imam ini, harus cucu Rasulullah yang menunaikannya. Lalu ketika dia berjumpa dengan Imam Hasan dia mengatakan, "Sebetulnya saya tadi akan menyampaikan hajatku ini kepada adikmu, Al-Husain. Namun saya lihat dia sedang melaksanakan thawaf, akhirnya tidak jadi", kata Imam Hasan, "Seandainya kausampaikan hajatmu kepada adikku Al-Husain, pasti dia
akan memutuskan thawafnya dan akan menunaikan hajat-mu."
Dalam hadis lain di-sebutkan bahwa kalau seorang Mukmin didatangi saudaranya yang memerlukan bantuan kemudian dia tidak mampu sehingga dia menjadi sedih ka-rena tidak mampu untuk mem-bantu saudaranya ini, kata Rasulullah, Allah akan mema-sukkan dia ke surga dengan pe-rasaan sedihnya. Jadi perasaan sedih dengan perasaan sumpek ini penyakit orang Mukmin, bahkan penyakit para nabi. Tapi sumpeknya bukan sampai kepada tingkatan stress oleh karena tidak ada rezeki misalnya. Namun sumpeknya tadi, misalnya, tidak dapat menunaikan hajat orang Mukmin, tidak dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah, terhadap Islam. Itulah kesedihan orang Mukmin. Namun orang Mukmin itu katanya kesedihannya cuma di hati saja, bahagianya cuma di muka saja. Jadi kalau sedih berusahalah jangan ditampak-tampakkan sedang murung, tampakkanlah bahagia walaupun hati kita sedang sedih bukan main. Jadi, itulah perihal memenuhi hajat orang Mukmin.
Yang ketiga yang disebutkan oleh beliau adalah kita harus menjaga lisan. Jangan menyebut-nyebut ke-lemahannya, menyebut-nyebut aibnya baik di hadapannya apalagi di belakangnya. Kemudian usahakan jangan mempersoalkan hal-hal yang membuat perdebatan, ke-cuali memang betul-betul itu dilandasi karena Allah Swt. Ini yang beliau tulis bukan tambahan dari saya. Kemu-dian juga menjaga rahasia-rahasianya, jangan diungkap begitu saja.
Dalam hadis juga dikatakan, Imam Khomeini pun menukil hadis ini dalam kitab Tahrir Al-Wasilah, "Ada tiga golongan manusia yang bakal mendapat perlindungan dari Allah Swt, perlindungan dari 'Arasy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali dari Allah Swt."
Pertama adalah seorang yang menikahkan saudaranya sesama Muslim. Ini pahalanya besar sekali.
Yang kedua, meladeninya, melayaninya dengan baik, khidmat kepada ikhwan. Wasiat dari ulama-ulama besar kita adalah usahakan hidup Anda ini penuh khidmat kepada sesama ikhwan. Apalagi kepada orang tua, guru, dan lebih-lebih para ulama, kalau ingin mendapat taufik dari Allah Swt. Jangan segan-segan untuk berkhidmat, untuk menjadi pelayan bagi sesama saudaranya. Saudara-saudara mungkin sudah membaca tulisan Syahid Muthahhari, kisah zaman Rasululah ketika Rasulullah pergi bersama-sama sahabatnya. Ada yang sibuk ibadah, ada yang sibuk menyiapkan makanan bagi sahabat-sahabatnya. Kata Rasulullah, yang ini [menyiapkan makanan red.] lebih afdhal daripada yang sibuk shalat, sibuk zikir, sibuk doa. Ini kedudukan khidmat, melayani sesama ikhwan.
Kemudian yang ketiga adalah menjaga rahasianya. Jadi yang menjaga rahasia saudaranya itu akan dijamin mendapatkan perlindungan dari Allah Swt. Memang sebetulnya masalah-masalah ini perlu penjelasan yang cukup. Cukup luas mestinya, namun ini secara umumlah bahwa kita harus menjaga kehormatan saudara kita. Kita harus menjaga betul martabatnya. Kalaupun kita mesti mengingatkan, ingatkanlah itu dengan Islam. Islam ini pun ada syariat bagaimana mengingatkan saudaranya. Memang, terus terang, itulah yang sering kita ratapi ikhwan sekalian. Jadi, masalah menjaga rahasia saudaranya ini, itu sangat dijunjung tinggi. Dalam hadis lain, "Barangsiapa yang mencari-cari kelemahan saudaranya, Allah akan menyingkap aibnya di hadapan banyak orang di padang Mahsyar nanti." Ini hadisnya juga banyak sekali, Juga menjaga terhadap orang-orang dekatnya, keluarganya dan lain-lain. Inilah hak seorang saudara, bukan kita bersikap kepada dia saja tapi termasuk kepada orang-orang dekatnya, kerabatnya, dan lain sebagainya.
Yang keempat disebutkan di sini bahwa dia berusaha menunjukkan bahwa dia itu mencintai sau-daranya. Ini sering memang guru-guru kita mencontohkan kalau apa-apa itu mungkin di Indonesia kurang wajar, tiba-tiba mengatakan : "Saya mencintai Anda." Ini pantasnya diutarakan bukan kepada sesama jenis, padahal itu yang dianjurkan. Kalau-kalau mencintai saudaramu, katakanlah kepada dia bahwa kamu mencintainya. Kita tunjukkan cinta kita, tentu bukan dengan lisan saja dengan bukti-bukti nyata bahwa kita mencintainya. Cinta yang sebenar-nya yaitu kalau saudara kita salah, kita betulkan dengan cara yang baik, kalau dia betul kita dukung. Itulah yang ada dalam syariat.
Dalam hadis dikatakan bahwa orang Mukmin itu adalah cermin dari saudaranya. Artinya, ketika berjumpa, bergaul, dia seakan-akan melihat dirinya sendiri, tidak menipu sama sekali. Jadi carilah teman yang betul-betul bagaikan cermin diri kita. Dalam kitab lain juga disebutkan bahwa kalau seandainya kita tidak dapat menemukan sahabat yang betul-betul baik, maka hidup sendiri lebih baik daripada bersahabat dengan sahabat yang tidak kenal.
Ulama kita sering memberi perumpamaan, manusia itu umumnya bagaikan air yang belum mencapai kurr yang gampang kena najis. Kena najis sedikit saja, saudara-saudara kalau belajar fiqih, bila air belum sampai kurr kira-kira 374 liter. Kalau dengan syibr, jengkal, kira-kira tiga setengah lebar kemudian panjang tiga setengah, dalam tiga setengah, berarti itu sudah satu kurr. Kalau kurang dari satu kurr kena najis sedikit saja walaupun tidak berubah apa-apa airnya.Itu najis semua airnya. Tapi kalau lebih dari satu kurr selama air itu tidak berubah, maka tidak najis. Jadi ulama-ulama kita sering mengumpamakan ke-banyakan manusia ini bagaikan air yang belum satu kurr, karena itu berhati-hatilah dalam bergaul.
Ini artinya tabiat atau watak kawan itu sangat berpengaruh sekali. Ini umumnya manusia. Tapi umumnya manusia mengatakan saya tidak mungkin terpengaruh, kan begitu, padahal umunya gampang terpengaruh. Karena itu sangat menyedihkan sekali kalau kita hidup dalam lingkungan yang tidak Islami, lingkungan yang tidak mendukung sedikit demi sedikit, nah masuk teman-teman yang baru datang dari Hauzah Ilmiyah, misalnya, merasakan betul tanpa disadarai tiba-tiba kok lain saya sekarang dengan waktu saya belajar dulu misalnya, sudah berbeda suasananya tanpa disadari lingkungan ini rupanya sudah berpengaruh dalam dirinya. Karena itu lebih baik dikatakan oleh ulama-ulama kita, lebih baik hidup sendiri kalau tidak mampu mendapatkan teman yang hakiki, teman yang sebenarnya.
Dalam fakta sejarah ada hal yang menarik. Saya ingat betul saya pernah sampaikan di Bandung ini dalam kesempatan yang lain bahwa kenapa Rasulullah Saww. ketika mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar tidak ada orang lain yang diambil saudara bagi Rasulullah kecuali Imam 'Ali bin Abi Thalib. Ini fakta sejarah, semua mengakui si fulan dengan si fulan, si anu dengan si anu. Ya, Muhajirin dan Anshar semuanya dipersaudarakan, tapi kenapa Rasulullah hanya mengambil 'Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Nampaknya karena Rasulullah merasa yakin hanya dengan 'Ali bin Abi Thalib saja yang dia tidak mungkin berkhianat; yang tidak mungkin menjelek-jelekkan di belakang, yang tidak mungkin mengingkari janjinya.
Demikianlah Rasulullah yang mengajarkan kepada kita bagaimana hakikat seorang akh (ikhwan), seorang ikhwan itu. Dari peristiwa itu kita tahu yang lain-lain itu masih dikhawatirkan jangan-jangan berkhianat, jangan-jangan bicara yang tidak-tidak di belakang. Ini memang karena fakta yang sampai kepada kita demikian. Karena itu yang paling dibanggakan oleh Imam 'Ali. Beliau mengatakan, "Saya adalah hamba Allah dan saudara Rasul." Kalimat ini yang paling dibanggakan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib as. Jangan sampai masyarakat kita ini masyarakat yang kuat hujjahnya saja, kuat doktrin-doktrin ilmiahnya, namun penerapan dalam hidup bermasyarakat masih banyak kelompok lain yang jauh lebih baik daripada kita.
Kaum Muslimin secara umum masih belum menunjukkan sebagai masyarakat yang betul-betul menerapkan doktrin-doktrin Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Namun kita bisa saja membela diri, memamg susah sekali menerapkan doktrin-doktrin Islam yang begitu mulia dan luhur itu, memang susah sekali namun tetap ada terwujud walaupun jumlahnya sedikit. Kalau banyak bukan contoh lagi namanya. Biasanya kan yang disebut contoh sedikit. Namun kalaupun kita tidak
mendapatkan yang seratus persen, yang tujuh puluh persen pun Alhamdulillah. Tapi perlu saya ceritakan juga di sini ada seorang ulama besar yang dia punya anak. Di bertanya kepada anaknya, "Besok kamu kalau sudah besar, mau jadi apa ?" Anaknya menjawab, "Ingin jadi seperti antum, ya abah, saya ingin jadi seperti kamu wahai ayah, seperti engkau." Kata ayahnya, "Kalau begitu enggak mungkin kamu jadi seperti aku." "Lalu bagaimana ?" tanya anaknya. "Saya dulu," kata ayahnya, "bercita-cita ingin menjadi seperti Imam Ja'far Ash-Shadiq. Jadinya seperti saya sekarang ini. Jadi kalau kamu ingin seperti aku, jadinya kamu seperti apa nanti?" Jadi memang mau mengejar target yang tinggi sekali.
Jadi yang kita sampaikan memang mulia sekali. Dapat lima persennya Imam Ja'far Ash-Shadiq saja sudah hebat sekali. Kalau mau ekstem, dapat nol koma nol sekian Sudah hebat sekali. Inilah yang kita tuju yakni bagaimana kita menerapkan doktrin-doktrin Islam ini dengan sebaik mungkin. Saya khawatir kalau saya baca semua juga sangat menjemukan. Tapi mudah-mudahan sebaik-baik pembicaraan itu yang sedikit dan yang langsung menuju kepada sasarannya. Mudah-mudahan ini saya tidaktahu apakah sedikit atau banyak, ini relatif sekali dan saya pikir juga ini belum menuju sasarannya. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Mudah-mudahan ini tempat menjadi tempat yang sangat mulia, yang menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang sangat luhur dan kita betul-betul dalam rangka mempersiapkan tanggung jawab kita di hadapan Allah Swt. Kita harus persiapkan diri kita ini untuk orang-orang yang selalu siap mendengarkan dengan betul-betul. Mendengarkan betul-betul dengan perhatian, ucapan berupa nasihat, kritik, saran, kemudian mengikuti yang terbaik. Ini dalam rangka kita menyadari kelemahan diri kita. Kita menyadari segala macam kekurangan yang ada. Karena itu kita harus bersiap-siap untuk memperhatikan segala macam nasihat, ucapan-ucapan yang baik dengan berusaha mengikuti yang terbaik. [ ]

Ta'aruf

Taaruf, bukan Pacaran

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
.
Selama ini kita menganggap bahwa pacaran itu adalah metode untuk melakukan pendekatan untuk mengenal lebih dekat. Namun kenyataannya tujuan itu janrang yang tercapai. Karena umumnya alih-alih melakukan pendekatan, yang terjadi justru melakukan sekian banyak bentuk kemaksiatan.
Buktinya, berapa banyak pasangan muda yang sebelum menikah sempat pacaran bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai 5 – 10 tahun, sayangnya begitu mereka menikah langsung cerai dan hancur berantakan rumah tangganya. Belum lagi meningkatnya kasus hamil di luar nikah oleh pasangan sendiri dan juga perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa dan pelajar.
Istilah pacaran itu sendiri sudah merupakan kelaziman di tengah masyarakat dimana pasangan tidak sah melakukan serangkaian aktifitas bersama. Dan realitas di tengah masyarakat sudah mengenal persis aktifitas pacaran itu yang identik dengan apel malam minggu (namanya apel sudah pasti berduaan, karena kalau rame-rame namanya rombongan), juga nonton ke bioskop berdua, berboncengan sepeda motor, jalan-jalan berduaan, makan di restoran berduaan, tukar menukar SMS, saling bertelepon siang dan malam dan semua aktifitas lain yang mengasyikkan. Intinya adalah kebersamaan dan berduaan. Hampir sulit dikatakan pacaran bila semua itu dilakukan bersama-sama dalam kelompok besar.
Bahkan hakikat pacaran adalah pada keberduaannya itu. Inilah pacaran yang dikenal masyarakat dan bukan yang tertulis dalam kamus. Jadi dengan pengertian yang lazim dikenal masyarakat sekarang ini tentang pacaran, maka tidak bisa lain semua itu adalah khalwat yang diharamkan.
Islam sudah memperingatkan laki-laki dan wanita yang bukan mahram untuk tidak menyepi berduaan karena yang ketiganya adalah setan.
Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (Riwayat Ahmad)
"Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali bersama mahramnya."
Imam Qurthubi dalam menafsirkan firman Allah yang berkenaan dengan isteri-isteri Nabi, yaitu yang tersebut dalam surah al-Ahzab ayat 53, yang artinya: "Apabila kamu minta sesuatu (makanan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Karena yang demikian itu lebih dapat membersihkan hati-hati kamu dan hati-hati mereka itu," mengatakan: maksudnya perasaan-perasaan yang timbul dari orang laki-laki terhadap orang perempuan, dan perasaan-perasaan perempuan terhadap laki-laki. Yakni cara seperti itu lebih ampuh untuk meniadakan perasaan-perasaan bimbang dan lebih dapat menjauhkan dari tuduhan yang bukan-bukan dan lebih positif untuk melindungi keluarga.
Ini berarti, bahwa manusia tidak boleh percaya pada diri sendiri dalam hubungannya dengan masalah bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya. Oleh karena itu menjauhi hal tersebut akan lebih baik dan lebih dapat melindungi serta lebih sempurna penjagaannya.
Istilah pacaran sebenarnya tidak ada batasan bakunya, namun umumnya yang namanya pacaran itu –apalagi di zaman permisif dan hedonis sekarang ini- tidak lain adalah hubungan lain jenis non mahram dengan segala aktifitas maksiatnya dari khalwat, zina mata, zina telinga dan sampai zina kemaluan.
Bahkan beberapa penelitian di berbagai tempat seperti di Yogyakarta beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa sebagian besar pasangan pacaran itu memang telah melakukan hubungan tidak senonoh mulai dari bercumbu, berpelukan, berciuman sampai persetubuhan. Parahnya, semua itu umumnya dilakukan oleh para mahasiswa yang nota bene terpelajar dan calon pemimpin bangsa.
Jadi hampir bisa dikatakan bahwa pacaran itu tidak lain adalah zina atau minimal mendekati wilayah zina yang memang haram dan dilarang oleh semua agama.
Lalu bagaimana seorang laki-laki bisa mengenal calon pasangan hidupnya kalau bukan dengan cara pacaran ?
Islam sesungguhnya sejak awal sudah memperkenalkan istilah ta’aruf sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan. Ta’aruf sangat berbeda dengan pacaran. Ta`aruf adalah sesuatu yang syar`i dan memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat.
Tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedang ta’aruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli mobil second tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus mobil itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan mobil itu.
Sedangkan taaruf adalah seperti seorang montir mobil ahli yang memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar menawar.
Ketika melakukan ta’aruf, seseorang baik pihak laki atau wanita berhak untuk bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya.
Namun secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk membawa pergi mobil itu sendiri. Silahkan periksa dengan baik dan kalau tertarik, mari bicara harga.
Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak laki dan wanita dipersilahkan menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan cuma beruda saja. Harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi ta`aruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua.
Disinilah letak perbedaan antara pacaran dengan taaruf. Pacaran adalah jalan-jalan asyik berdua, jajan, nonton, bermesraan dan bercumbu. Sama sekali tidak ada porsi tentang persiapan real untuk hidup. Bahkan pacaran cenderung bohong dan menipu, karena umumnya masing-masing pihak ingin tampil ‘wah’ di depan pasangannya. Bedak, gincu, parfum, pakaian bagus, mobil dan segala asesoris lainnya adalah sesuatu yang harus ditonjolkan. Semua sangat jauh dari kehidupan real nanti dalam keluarga.
Padahal setelah menikah, justru semua itu akan ditinggalkan dan masing-masing baru akan tampil dengan wajah dan kelakuan aslinya. Padahal dahulu hal-hal seperti itu tidak pernah dibahas dalam masa pacaran, karena semua waktunya tersita untuk jatuh cinta.
Taaruf adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap calon pasangan. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak cukup penting.
Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan cuma sekedar curi-curi pandang atau ngintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto, lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada salahnya untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf, yang namanya melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh disana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua tapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena tapak tangan wanita pun bukan termasuk aurat.
Lalu bagaimana dengan keharusan ghadhdhul bashar ? Bab ghadhdhul bashar tempatnya bukan saat ta`aruf, karena pada saat ta`aruf, secara khusus Rasulullah SAW memang memerintahkan untuk melihat dengan seksama dan teliti. Kalau sekali melihat ternyata belum yakin, boleh melihat lagi dan lagi hingga betul-betul kuat motivasi untuk menikahinya.
Selain urusan melihat pisik, taaruf juga harus menghasilkan data yang berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya. Hanya semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan dalam koridor syari`ah Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, ngedate dan seterusnya dengan menggunakan alasan ta`aruf. Janganlah ta`aruf menjadi pacaran. Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilath antara pasangan yang belum jadi suami istri ini.
Khusus berkaitan dengan foto wjah seseorang, sebenarnya bukan media yang 100 % bisa dipercaya, apalagi bila foto itu cuma ukuran 2x3 hitam putih. Sama sekali tidak memberi gambaran apa-apa. Begitu juga dengan CV yang ditulis di atas kertas selembar yang isinya cuma nama, alamat, hobi dan warna kesukaan. Jelas bukan informasi untuk ta`aruf pada sebuah pernikahan. Kalau cuma pas poto dan selembar kertas bio data, fungsinya buat bikin KTP atau untuk jadi sahabat pena di majalah anak-anak. Dus, itu bukan sarana yang tepat untuk sebuah ta`aruf.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Friday, June 03, 2005

Menata Masjid

Menata Kembali Manajemen Masjid Indonesia
.
.
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. At Taubah: 9: 18).
.
Kita sering mendengar bahwa umat Islam masih mengabaikan masjidnya sehingga dimana-mana masjid terlihat kosong pada saat shalat fardhu, khususnya shalat Subuh. Masjid hanya tampak penuh saat shalat Jum'at. Ini menjadi bukti bahwa upaya memakmurkan masjid masih sangat rendah. Namun demikian, hasrat membangun masjid masih tetap tinggi sehingga masjid terus dibangun dimana-mana.
.
Masih juga terdapat beberapa fenomena penyimpangan yang sangat mendasar dalam pengelolaan masjid di Indonesia. Pertama, pengelolaan yang tanpa mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Kedua, ketidakdisiplinan dalam berjamaah, terlihat dengan pakaian yamg beragam bentuk dan berwarna-warni pada saat shalat Jum'at. Padahal Rasulullah menyontohkan dengan memakai pakaian polos terutama putih. Selain itu, kerapian dan kebersihan masjid seringkali tidak terjaga dengan baik. Kertiga, banyak orang kaya yang membiarkan rumah Allah, tempat mereka bershalat, lebih sederhana daripada rumah dan kendaraannya.
.
Krisis multi-dimensi berkepanjangan yang melanda negara kita haruslah menjadi momen untuk melakukan introspeksi. Mungkinkah salah satunya terkait dengan kelalaian kita dalam mengelola masjid yang belum benar? Ini merupakan persoalan klasik dan sangat mendasar sehingga perlu diatasi melalui pendekatan secara klasik dan mendasar pula.
.
Klasifikasi, registrasi dan akreditasi masjidKini terdapat banyak pedoman baku (manual) manajemen masjid. Namun, ternyata belum mencakup hal-hal sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah. Karena itu perlu dilakukan berbagai penyempurnaan terhadap manajemen masjid.
Masjid memiliki makna besar dalam kehidupan umat Islam, baik fisik, emosional maupun makna spiritual. Pemahaman mengenai masjid harus benar-benar terkait dengan unsur ibadah, baik yang menyangkut hablumminallah maupun hablumminanas. Bagi umat Islam, masjid dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Masjid Allah yang dibangun semata-mata untuk mendapatkan ridlo Allah dan Masjid Riya yang dibangun bukan atas dasar ketakwaan dan niat bukan karena Allah. Ciri masjid kedua ini antara lain untuk menimbulkan kemudharatan bagi umat Islam, memecah belah antara orang mukmin dan didirikan seolah-olah untuk kebaikan.
Masjid adalah rumah Allah. Karena itu, membangun masjid harus diawali dengan niat yang lurus dan suci, untuk mendapat ridlo Allah semata. Sehingga masjid yang dibangunnya menjadi tempat perlindungan umat Islam, pembangunan kualitas akhlaq, iman dan taqwa kepada Allah SWT.
.
Kehadiran masjid di satu tempat perlu dibuat klasifikasinya sehingga akan terjalin ukhuwah antara masjid di daerah yang memiliki keterbatasan dengan masjid yang berada di ibu kota provinsi ataupun pusat. Klasifikasi masjid dapat dilakukan di antaranya berdasarkan luas masjid dan daya tampung jamaah serta ketersediaan fasilitas pendukung dan usaha pemakmuran masjid.
Klasifikasi ini berdasarkan lokasi, status, dan fasilitas yang dimiliki masing-masing kategori masjid tersebut. Bahkan seperti halnya di Malaysia, status masjid juga menunjukkan senioritas ranking Imam Masjidnya, karena status mereka adalah pegawai kerajaan.
.
Dari model di atas, masjid di Indonesia dapat diklasifikasikan dengan memberikan tipe bagi masing-masing strata masjid. Yaitu, tipe A untuk Masjid Negara, tipe B untuk Masjid Akbar, tipe C untuk Masjid Raya, tipe D untuk Masjid Agung, tipe E untuk Masjid Besar, tipe F untuk Masjid Jami', dan tipe G untuk Masjid RW.
Masing-masing tipe masjid dapat ditentukan akreditasinya. Misalnya, untuk Masjid Kecamatan atau Masjid Besar dengan tipe E. Maka dapat diklasifikasikan menjadi masjid tipe E satu bintang (E 1B atau E*) sampai dengan tipe E lima bintang (E 5B atau E*****). Klasifikasinya ditentukan berdasarkan ketersediaan fasilitas yang sekaligus menunjukkan kualitas masjid tersebut. Sehingga masjid dengan tipe E 1B dapat meningkat menjadi tipe E 2B dan seterusnya sampai menjadi masjid tipe E 5B.
.
Fasilitas masjid pada umumnya dapat digolongkan sebagai fasilitas utama dan fasilitas pendukung. Yang termasuk fasilitas utama adalah mimbar, mihrab, tempat adzan, tempat wudlu, kamar mandi, toilet, menara dan sebagainya. Adapun fasilitas pendukung adalah kantor pengurus, majelis taklim, perpustakaan, poliklinik, baitul mal, UPZ, Asy Syifa dan lain-lain. Semakin baik fasilitas dan semakin disiplin dalam mengelolanya, maka akan memperoleh penilaian dengan akreditasi yang semakin tinggi.
Dalam rangka melakukan penataan, pengorganisasian maupun pembinaan terhadap masjid, maka setiap masjid harus mencatatkan keberadaannya kepada yang berwenang, yaitu Dewan Masjid Indonesia yang berada di Masjid Istiqlal atau dewan masjid daerah yang berdomisili di masjid provinsi. Dengan pencatatan ini, masjid akan mendapatkan Nomor Pokok Masjid (NPM) yang dikeluarkan secara terpusat oleh Dewan Masjid Indonesia. Nomor ini terdiri atas 11 digit yang mencantumkan identifikasi strata, tipe, dan lokasi masjid. Registrasi jamaah Registrasi jamaah masjid sangat diperlukan sebagai dasar untuk membina jamaahnya. Contoh pelaksanaan registrasi jamaah sebenarnya sudah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, walaupun dengan cara sangat sederhana. Hal ini dapat terlihat dari Hadis Nabi sebagai berikut: "Ketika Nabi akan shalat maka terlebih dahulu melihat ke arah jamaah, ketika meneliti shafnya dan beliau mengetahui ada seorang jamaah yang biasanya hadir tidak ada dalam barisan shaf itu, maka Nabi bertanya: Kemana si fulan? Salah seorang jamaah menyampaikan bahwa yang bersangkutan sakit. Kemudian setelah menunaikan shalat, Rasulullah mendatangi rumah si fulan untuk takziyah."
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi sangat perhatian terhadap jamaahnya. Karena itu, pengurus atau imam masjid selayaknya mengikutinya. Bahkan setelah shalat Jum'at, dari atas mimbar Nabi selalu menanyai jamaahnya: "Siapa yang hari ini ada kesulitan atau kekurangan?
" Kemudian Nabi bertanya lagi apakah ada yang telah diberi rezeki Allah dan mempunyai kelebihan sehingga dapat membantu mereka yang kesulitan dan kekurangan itu? Dengan cara ini, problematika umat dapat langsung diselesaikan. Selaiknya bila contoh Nabi tersebut dapat kita praktikkan di tanah air.
Episode yang diceritakan dengan sederhana itu mengandung makna sangat mendalam dan mendasar. Selaiknya bila pengurus masjid melakukan registrasi jamaahnya, mengetahui dan peduli keadaan mereka, dan melakukan silaturahmi untuk mengatasi persoalan mereka. Mengenali setiap jamaah bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi masjid besar. Perlu dibuat suatu sistem yang memudahkan pekerjaan itu dan sekaligus membangun silaturahmi di antara mereka. Registrasi juga dimaksudkan untuk menumbuhkan keterkaitan jamaah dengan masjid. Setiap jamaah diberikan nomor keanggotaan dengan Kartu Jamaah Masjid (KJM).
.
KJM akan terkait dengan Nomor Pokok Masjid (NPM)nya karena dikeluarkan oleh masjid yang bersangkutan. Jamaah mendapatkan KJM secara cuma-cuma setelah mengajukan permohonan kepada Pengurus Masjid. Memiliki KJM tertentu bukan berarti ia hanya boleh shalat di masjid tersebut, melainkan agar jamaah lebih peduli dengan persoalan yang terjadi di masjidnya. Juga dalam rangka memakmurkan masjid.
Memakmurkan masjidMasjid sejak zaman Nabi Muhammad SAW telah dijadikan pusat kegiatan umat Islam. Dari masjid, Rasulullah membangun umat Islam dan mengendalikan pemerintahannya. Sebagaimana dinyatakan dalam surat At Taubah 18, mereka yang memakmurkan masjid adalah orang yang mendapat petunjuk dari Allah.
Meski demikian, saat ini masjid masih belum diberdayakan secara proporsional bagi pembangunan umat Islam. Memang tidak mudah mengajak umat untuk kembali ke masjid seperti zaman Rasulullah. Persepsi yang berkembang adalah bahwa masjid hanya untuk kegiatan spiritual belaka, sehingga umat Islam pun tercerai berai dalam persaudaraannya.
.
Memakmurkan masjid memiliki arti yang sangat luas. Yaitu, menyelenggarakan kegiatan yang bernilai ibadah. Di antara kegiatan yang tergolong memakmurkan masjid adalah Pengelolaan Masjid, Majelis Taklim, Taman Pendidikan Alquran, Remaja Masjid, Perpustakaan, Koperasi, Poliklinik, Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Konsultasi, Asy Syifa, Bantuan Hukum, Bursa Tenaga Kerja, Sekolah, Bank Syariah, BMT, BPRS, Kantor Pos, Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Rumah Sakit, Toko Buku, Pusat Informasi, Wartel, dan sebagainya.
Selanjutnya tingkat kemakmuran masjid sangat dipengaruhi oleh kepengurusan masjid yang ada. Tanpa takmir yang amanah dan taqwa, masjid nyaris sepi dari berbagai kegiatan ibadah. Masjid seringkali menjadi simbol kebesaran Islam, namun jauh dari kegiatan memakmurkannya.
Upaya pemakmuran masjid juga dapat dilakukan melalui suatu aliansi antara masjid dengan Baznas/Bazda dan Babinrohis Pusat/Daerah. Adanya UU No 38 tahun 1999, pemerintah telah memfasilitasi berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) serta LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Untuk mewujudkan istem penyelenggaraan zakat maka Baznas maupun Bazda dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang berada di masjid maupun unit-unit usaha. Kerja sama antara masjid dengan Badan Amil Zakat dan Badan Pembina Rohani Islam (BABINROHIS) yang ada di Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, BUMN dan swasta secara berjamaah, diharapkan dapat mengangkat harkat umat melalui program pengentasan kemiskinan dan peningkatan pemberdayaan ekonomi. Kerja sama ketiga pilar itu akan menjadi suatu kekuatan yang dahsyat dalam pemberdayaan umat.
.
Dalam hal ini masjid akan bertindak selaku pengumpul dan penyalur zakat dan infaq. Pengurus masjid dituntut mengetahui kondisi jamaahnya, siapa saja yang digolongkan mampu (muzakki) dan siapa yang harus dibantu (mustahiq). Untuk itulah perlunya dilakukan reposisi dan penataan kembali masjid.
Dengan demikian akan sangat dimungkinkan terlaksananya distribusi zakat secara transparan dan menyeluruh, seluruh masjid atau jamaah mempunyai kesempatan sama, para pengemis tidak akan lagi berkeliaran di berbagai tempat karena sudah diurus oleh masjid. Di samping itu, tidak akan terjadi duplikasi bantuan karena setiap orang hanya terkait dengan satu masjid dan jamaah yang tidak memerlukan bantuan harian akan diberikan bantuan yang bersifat produktif.
.
*) Penulis adalah direktur utama PT Taspen (Persero) dan ketua umum Fokkus Babinrohis Pusat.

Thursday, June 02, 2005

Laporan Keuangan Mei 2005

LAPORAN KEUANGAN BULAN MEI 2005


A. Saldo Awal tanggal 1 Mei 2005............................................Rp 28.052.700,-
B. Penerimaan selama bulan Mei 2005.....................................Rp 8.232.000,-
Tromol Jum’at
Tromol Jum’at tanggal 6 Mei 2005.................Rp 207.000,-
Tromol Jum’at tanggal 13 Mei 2005................Rp 153.000,-
Tromol Jum’at tanggal 20 Mei 2005 Rp 123.000,-
Tromol Jum’at tanggal 27 Mei 2005 Rp 93.000,-
Zakat, Infaq, Shodaqoh
Zakat Hamba Allah Rt 003/07 Rp 5.000.000,-
Infaq Tenda dari Hamba Allah Rt 012 Rp 150.000,-
Infaq Bpk.Drs.Soyoto RW 03 Rp 50.000,-
Penerimaan kegiatan Maulid
Tromol Peringatan Maulid 1426H Rp 196.000,-
Sisa Dana Rp 20.000,-
Kartu Donatur
Donatur RT 001/07 (2 warga) Rp 70.000,-
Donatur RT 003/07 (4 warga) Rp 225.000,-
Donatur RT 005/07 (11 warga) Rp 380.000,-
Donatur RT 006/07 (18 warga) Rp 315.000,-
Donatur RT 007/07 (1 warga) Rp 10.000,-
Donatur RT 008/07 (5 warga) Rp 350.000,-
Donatur RT 009/07 (1 warga) Rp 10.000,-
Donatur RT 010/07 (2 warga) Rp 60.000,-
Donatur RT 011/07 (9 warga) Rp 600.000,-
Donatur RT 012/07 (10 warga) Rp 200.000,-
Donatur RW 03 (1 warga) Rp 20.000,-

C. Pengeluaran selama bulan Mei 2005..............................Rp 3.397.000,-
Biaya Kegiatan Jum’at
Kegiatan Jum’at tanggal 6 Mei 2005 Rp 130.000,-
Kegiatan Jum’at tanggal 13 Mei 2005 Rp 120.000,-
Kegiatan Jum’at tanggal 20 Mei 2005 Rp 115.000,-
Kegiatan Jum’at tanggal 27 Mei 2005 Rp 115.000,-
Biaya Pengajian Remaja IRMAS
2 kali Pengajian Irmas + aqua Rp 120.000-
1 kali Pengajian Irmas Rp 100.000-
1 kali Pengajian Irmas + biaya bulanan Rp 460.000,-
Biaya Peringatan Maulid Nabi SAW
Biaya kegiatan Peringatan maulid (sesuai anggaran) Rp1.300.000,-
Tambahan biaya dari Tromol Peringatan Maulid Rp 170.000,-
Biaya Urusan Rumah Tangga Masjid
Beli Aqua 5 Galon Rp 30.000,-
Beli Cat, tinner, pylox , Cutter, untuk pengecatan masjid Rp 305.000,-
Bongkar pasang 2 tenda peringatan Maulid Rp 150.000,-
Beli kain pel Rp 24.000,-
Biaya untuk pelaksanaan Kartu Donatur Rp 25.000,-
Biaya Pengelolaan Kebersihan Rp 100.000,-
Beli Kopi , sabun Rp 8.000,-
Biaya konsumsi pembubaran panita maulid Rp 40.000,-
Transport pengambilan meja untuk Masjid Rp 85.000,-

D. Saldo Akhir tanggal 31 Mei 2005...................................Rp 32.887.700,-

Mengetahui,


H.Syamsi Yuwono....................H.Rosihan Effendy
Ketua Masjid............................Bendahara I