Wednesday, July 28, 2010

Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban

Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban

Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.

Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).”

Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.

Pertama:
Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390).

Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].

Kedua:
Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi.

Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena terputus sanadnya]


Ketiga:
Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri.

Penulis Tuhfatul Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.” [Hadits ini adalah hadits yang dho’if]


Keempat:
Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.”

Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif/ dijarh, namun haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].

Kelima:

Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,

“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”.

Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad yang terputus].

Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti hadits ini pun dho’if].


Keenam:
Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: "Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib.

Adz Dzahabi dalam Al Mizan mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]


Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]


Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.


Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]

Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3]

[Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]

Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.”[4]


Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]


Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]

Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]

Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.

Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban


Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.

Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).

Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.

Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]

Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban,

maka ada dua cara untuk menghidupkannya.

Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.

Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]

Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]

Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]

Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[12]


Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya


Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.

Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.

Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]


Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).


Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]

Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.


Referensi:

1. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
2. Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
3. Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H.
4. Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
5. Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
6. Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
7. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?

Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?


Mengenai masalah ini, ada dua pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama,

mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnah lagi sesukanya, namun shalat witirnya tidak perlu diulangi.

Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah.

Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa’ad, Ammar, Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah. Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.

Pertama, ‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)

Kedua, dari Ummu Salamah,

beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketiga, dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, ...” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitir sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.

Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)



Pendapat kedua,

mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama, kemudian dia shalat dan witir kembali.

Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh melakukan shalat sunnah (2 raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.

Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Utsman, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas.

Dasar dari pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)


Pendapat yang Terkuat


Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan beberapa alasan berikut.

Pertama,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.

Kedua,

pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.

1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap setelahnya.
2. Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi tidaklah dikenal dalam syari’at.

Dengan dua alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.


Kesimpulan

Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama, bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.
Kedua, diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada batasan raka’at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 22/272).

Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam.

Padahal pahala shalat bersama imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, “

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).

Ketiga, adapun hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan “Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir”, maka menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).

Demikian pembahasan kami dalam rangka menjawab pertanyaan seputar shalat tarawih yang kami bahas.
Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat.

Rujukan:

Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 386-395, Al Maktabah At Taufiqiyah

Diselesaikan pada hari Jum’at Al Mubarok, 7 Ramadhan 1430 H di Panggang, Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Friday, July 23, 2010

Manfaat Dzikir dan mengingat Allah

suatu perkara yang sangat besar serta dapat berfungsi melindungi hati manusia adalah zikir kepada Allah. barangsiapa yang membiasakan lisannya untuk mengingat Allah, niscaya Allah akan menjaga lisannya dari mengucapkan perkataan yang batil dan sia-sia. dan barangsiapa yang membiasakan lisannya untuk mengatakan perkataan yang batil, sia-sia serta kata-kata keji, niscaya dia tidak akan mampu mengucapkan zikir. tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dengan pertolongan Allah.


di antara manfaat zikir ialah:Allah Ta'ala berfitman,


"...Bukankah dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang..."


majelis zikir adalah majelis para malaikat, sedangkan majelis yang hanya berisikan perkataan sia-sia dan melalaikan adalah majelis setan.
zikir kepada Allah dapat membuat wajah lebih berseri-seri di dunia dan akan bercahaya kelak di akhirat.

banyak mengucapkan zikir menjadikan diri selamat dari sifat-sifat orang munafik, karena orang munafik sangat sedikit mengingat Allah.
zikir adalah makanan untuk hati dan jiwa.

memperbanyak zikir akan membuat jauh dari perbuatan menggunjing, mengadu domba, berbohong, serta berkata keji dan batil.
orang yang mengucapkan zikir akan merasa senang dan menyenagkan teman duduknya.

zikir adalah sarana untuk memetik pohon surga.
zikir adalah ibadah yang paling ringan, namun sangat agung dan mulia.
sesungguhnya dalam zikir terdapat kenikmatan dan tidak ada amalan lain yang dapat menyerupainya.


zikir dapa mengusir, mengekang, dan mengalahkan setan



nabi bersabda, "barangsiapa yang mengucapkan 'subhanallah wa bihamdihi' dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dosa-dosanya akan dihapuskan walaupun sebanyak buih di lautan." (HR. Turmudzi)


11. zikir dapat menghapus dan menghilangkan dosa-dosa, karena zikir merupakan kebaikan yang paling besa, sedangkan kebaikan itu bisa menghapuskan kejelekan-kejelekan.

12. zikir dapat memperlancar rezeki.

13. zikir dapat menerangi wajah dan hati.
14. zikir dapat menguatkan hati dan badan.
15. zikir dapat membuat Allah ridha.
16. zikir bisa menjadikan seorang hamba dekat dengan Allah.
17. zikir bisa membantu pintu yang sangat agung, yaitu pintu makrifat. setiap kali seorang hamba memperbanyak zikir, maka dia akan semakin mengetahui makrifat.
18. zikir dapat membuat hamba tetap taap kepada Allah, yaitu dengan kembali kepadanya.
19. zikir dapat membuat hati lebih hidup.
20. zikir dapat menyelamatkan seorang hamba dari siksa Allah.
21. sesungguhnya jika seorang hamba mengingat Allah di waktu longgar, maka Allah akan mengingat hamba tersebut tatkala dia berada dalam kesusahan.
22. zikir dapat menyebabkan hadirnya perasaan tenang dan diliputi rahmat Allah serta dinaungi malaikat.
23. zikir menjadi cahaya bagi orang yang mengucapkannya pada waktu di dunia dan dapat menjadi penerang baginya di dalam kubur, serta menjadi penerang dihari kiamat tatkala orang tersebut menyeberang di atas jembatan sirath.
24. sesungguhnya hati itu memiliki sesuatu yang dibutuhkan dan tidak ada yang dapat memenuhinya sedikitpun, kecuali dengan mengingat Allah.
25. sesungguhnya zikir dapat membuat hati terjaga dari tidurnya serta membangkitkan dari rasa capek.
26. sesungguhnya pahala zikir dapat menyemai amalan memerdekakan budak dan menafkahkan semua hartanya di jalan Allah. pahala zikir juga menyemai pahala berperang di jalan Allah. 27. zikir merupakan bentuk syukur yang paling tinggi.
28. zikir merupakan penawar dan obat hati.
29. sesungguhnya malaikat memintakan ampunan bagi orang yang mengucapkannya sebagaimana para malaikat juga memintakan ampun bagi orang yang berobat.
30. zikir lebih utama daripada do'a.
31. terkadang hati manusia mengeras, tidak ada yang dapat membuatnya luluh kecuali dengan mengucapkan zikir dan mengingat Allah.

nabi bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam ahmaddan tirmidzi, hadis ini adalah hadis hasan,

"apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memulai dengan bertahmid kepada Allah azza wa jalla dan menyanjungNya. kemudian hendaklah orang tersebut membaca shalawat untuk nabi. kemudian berdoa kepada Allah dengan apapun yang dia inginkan."


32. sesungguhnya mengingat Allah dapat memudahkan hal yang susah dan meringankan kesukaran. dan juga bisa meringankan hal-hal yang memberatkan.
33. dengan zikir, Allah bisa menjadi percaya kepada hambaNya.
34. sesungguhnya rumah-rumah surga dibangun dengan zikir. jika seorang hamba berhenti dari zikir, maka malaikat akan berhenti dari membangunkan rumah di surga untukNya.
35. sesungguhnya zikir dapat menjadi penghalang antara seorang hamba dengan neraka jahannam.


dikutip dari kitab al-wabil as-Shayyibkarya Ibnu Qayyimmanshur abdul aziz bin al-ijyan. 2009.

Mutiara: ibnu Qayyim al-jauziyah. surakart: ziyad visi media.