Friday, January 28, 2005

Bulletin No: 005

Bulletin Jum’at
AL IKHLAS


Nomor: 005/I/2005 17 Zulhijjah 1425 H

Keselarasan Ilmu dengan Amal
Islam tidak suka jika dakwahnya itu hanya semata-mata pemikiran (konsep) di kepala saja, atau impian di benak para da'i, akan tetapi Islam menyelaraskan antara pemikiran (teori) dengan pelaksanaan, dan antara konsep dengan penerapan. Oleh karena itu Islam mengajak kita untuk melaksanakan sejumlah syi'ar, adab-adab kebiasaan yang dapat memperkuat ikatan mahabbah (cinta) di antara kita manusia.
Di antara adab itu adalah menyebarkan ucapan salam setiap bertemu antara yang satu dengan yang lainnya. Inilah yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:
"Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai, maukah kamu saya tunjukkan sesuatu yang apabila kamu melakukannya kamu akan saling mencintai? Sebarkan ucapan salam di antara kamu!" (HR. Muslim).
Di antaranya lagi adalah bermujamalah (berwajah ceria) dalam menyambut datangnya nikmat, berta'ziah ketika ada musibah, menjenguk orang sakit dan mendoakan orang yang bersin.
Kita juga dianjurkan untuk saling memberi hadiah satu sama lain dalam acara dan peristiwa yang baik, sebagaimana tersebut dalam hadits:
"(Hendaklah) kamu saling memberi hadiah, maka akan saling mencintai." (HR. Abu Ya'laa)
Dalam rangka memupuk rasa cinta kasih bisa juga melalui pertemuan-pertemuan di mana kita bisa mengenal wajah-wajah dan saling berjabat tangan, inilah yang disyari'atkan oleh Islam melalui kewajiban shalat berjamaah, shalat Jum'at dan shalat dua Hari Raya.
Islam telah mengharamkan kerusakan akhlaq dan sosial yang dapat memutuskan ikatan mahabbah dan mawaddah di antara manusia. Al Qur'an Al Karim menetapkan bahwa orang-orang yang beriman itu bersaudara, kemudian dilanjutkan dengan larangan terhadap sejumlah kebiasaan yang buruk yang dapat meretakkan keutuhan ukhuwwah dan yang merobohkan sendi-sendinya. Seperti menghina dan mencela, memanggil dengan sebutan yang tidak menyenangkan, mencari-cari kesalahan orang lain, mencari aurat manusia, berburuk sangka kepada manusia dan ghibah (menggunjing). Sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lain karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang burak. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka ialah orang-orang yang zhalim. Hai orang-orang yang beriman, Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al Hujuraat: 11-12)


Risywah

Salah satu penyakit masyarakat yang telah mendarah daging, dan banyak menimbulkan kegoncangan di seluruh sendi kehidupan, bahkan penyakit inilah yang menjadi sumber kehancuran negeri ini adalah Risywah alias menyogok.

Menyogok dalam pandangan Islam adalah suatu yang sangat tercela bahkan Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan serta orang yang menerima uang sogokan tersebut dan orang yang menjadi perantara antara penyogok dan orang yang disogok, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.
Terlaknat artinya terlempar dari rahmat Allah SWT, laknat dalam ajaran Islam tidak akan berlaku kecuali bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar. Hal ini menunjukan bahwa sogok-menyogok merupakan perbuatan dosa besar.

Bahkan Ibnu Mas’ud dalam salah satu perkataannya pernah berujar “Menyogok yang menyebabkan berubahnya hukum adalah sebuah kekafiran dan menyogok untuk menzhalimi manusia adalah haram”. Untuk itu Allah SWT melarang keras memakan harta yang didapat dengan cara bathil semacam Risywah dan sebagainya, sebagaimana Firman Allah SWT “Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui” (QS 2 ayat 188).

Maka Rasulullah SAW memerintahkan kepada segenap pejabat dan petugas Negara termasuk para pengurus Zakat untuk tidak merima segala bentuk hadiah, karena Rasulullah SAW menganggap itu semua adalah Risywah sebab mereka tidak akan menerima hadiah kalau mereka tidak menjabat kedudukan tersebut. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan olah Abu Hamid Abdurrahman ibn Saad Assai’di bahwa Rasulullah SAW menugaskan seseorang dari Suku Azd yang bernama Abu Lutbiah untuk menjadi pemungut Zakat, ketika Abu Lutbiah mendatangi Rasulullah SAW, dia (Abu Lutbiah) berkata:”ini untuk Anda (uang zakat) dan ini adalah hadiah untuk saya, maka ketika itu Rasulullah SAW bangun dan berdiri diatas mimbar mengucapkan Alhamdulillah kemudian berkata:”Sesungguhnya aku telah menugaskan salah seorang dari kalian dengan pekerjaan yang telah Allah wajibkan kepadaku, kemudian dia datang dan berkata ini untukmu dan ini hadiah untukku, apakah apabila dia berdiam diri dirumah akan mendapatkan hadiah tersebut??? Demi Allah tidaklah seseorang dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haqnya kecuali dia akan berjumpa dengan Allah dengan menanggung beban tersebut pada hari kiamat dengan berat”. (HR. Muttaq Alaih).

Apabila hal tersebut kita perbandingkan dengan keadaan lingkungan kita, maka betapa kita telah meninggalkan apa yang Rasulullah SAW ajarkan.

Kita akan mendapati praktek sogok-menyogok meraja lela disetiap tingkatan birokrasi pemerintahan. Mulai dari Kelurahan sampai tingkatan Pejabat Tinggi Negara, mulai dari karyawan rendahan yang seorang diri memungut biaya tambahan sampai kepada para pejabat dari berbagai instansi yang melakukan praktek-praktek KKN. Bahkan kita bisa katakan dinegeri yang indah ini korupsi telah dilakukan secara berjama’ah. Astaghfirullah..

Marilah kita mulai dari diri kita sendiri, dan dari hal-hal yang kecil seperti tidak menyogok waktu membuat SIM, serta mulai sekarang ini juga untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Agama. Mari kita selaraskan Ilmu dengan Amal. Insya Allah, kesadaran pribadi-pribadi akan menjelma menjadi kesadaran kolektif untuk bersama-sama memperbaiki kehidupan masyarakat kita. Aamiin.
Wallahu a’lam bis shawab.

Friday, January 21, 2005

Bulletin No: 004

Buletin Jum’at
AL IKHLAS
No: 004/I/2005 10 Zulhijjah 1425 H

Jejak - jejak Ibrahim as

Idul Adha disebut juga Hari Raya Kurban. Kurban yang dipersembahkan Ibrahim as pertanda kepatuhannya kepada Allah SWT dengan mengorbankan anak kesayangan satu-satunya Ismail as.

Dan peristiwa itu bertepatan dengan waktu Adha. Adha adalah waktu sesudah waktu Dhuha tapi belum masuk waktu lohor. Disaat itulah disuatu siang Ibrahim as mengurbankan Ismail as anak yang sangat dicintainya.
Sehingga Hari Raya itu disebut Hari Raya Kurban yang dilaksanakan pada saat waktu Adha. Disebut juga dengan hari Raya Haji. karena pada saat itu dilaksanakan ibadah haji.
Ibadah yang diawali dengan wukuf di Padang arafah. Sewaktu menuju Padang Arafah itu kita mengumandangkan Talbiah: “Labbaik Allahumma labbaik. la syarikalaka labbaik. Innal hamda, wanikmatalaka, walmulka lasyarikalaka"
Aku datang – aku datang memenuhi panggilanMu, Ya Allah. Untukmu segala puji, segala nikmat dan segala kerajaan. Tiada sekutu bagi_Mu.
Tiap kali kita dipanggilNya dan tiap kali pula kita penuhi panggilan itu. Setiap Jum’at, setiap sholat, setiap puasa dan setiap berkurban.
Siapa-siapa yang telah terbiasa memenuhi panggilan itu, nanti tidak canggung ketika memenuhi panggilan-Nya yang terakhir.
Arafah yang berarti pengenalan, mengenal kembali diri, mengenang kembali dosa-dosa yang pernah dikerjakan. Diharapkan para haji mengenal jati dirinya, menyadari kesalahannya, bertekad tidak mengulangi kesalahannya serta menyadari pula kebesaran dan keagungan penciptanya.
Maka sewaktu wukuf di Padang Arafah semua orang mengenang dan menyesali dosa-dosa yang pernah dibuat, dengan linangan dan deraian air mata yang bercucuran semua jemaah meratapi dan menyesali dosa-dosa yang pernah diperbuat. Semua orang hadir saat itu di Padang Arafah baik yang sehat maupun yang sakit, baik yang bersih maupun yang sedang haid. Semua berkumpul, semua berhimpun berwukuf merenung dan mengenang segala kesalahan dan kekhilafan selama ini.
Di Padang Arafah semua berpakaian Ihram, yaitu 2 helai kain putih yang tidak berjahit dan dengan kepala terbuka.
Andaikan ada yang menutup kepala, andaikan ada yang memasang topi atau mahkota sebagai pertanda dia Raja, maka ihramnya batal dan hajinya tidak diterima. Andaikan ada yang memakai tanda pangkat tandanya dia sebagai pejabat, atau bintang jasa didada, maka ihramnya akan batal dan hajinya ditolak.
Dengan pakaian yang sama dan tempat yang sama di Padang Arafah, tidak bisa kita membedakan mana orang kaya dan mana yang miskin, mana yang berpangkat dan mana rakyat jelata, semuanya sama. Melihat semua kemah yang berwarna putih dan pakaian jemaahnyapun putih-putih berpakaian ihram, seakan-akan berada di Padang Mashar waktu menghadap Tuhan. Seakan-akan ada isyarat jika menghadap Tuhan, lepaskanlah semua tanda kebesaran, hanya dua helai kain putih yang tak berjahit, dengan sangat sederhana kita menghadap Tuhan. Tinggi rendah seseorang ditentukan oleh Taqwanya.
Pakaian melahirkan perbedaan, dan menggambarkan status sosial, serta menimbulkan pengaruh psikologis, menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan menghapus keangkuhan yang di timbulkan oleh status sosial, mengenakan pakaian Ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya.
Wukuf dengan mengenang segenap dosa dan kesalahan yang pernah dibuat, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja , dosa besar ataupun dosa kecil. sebagaimana Adam dan Hawa mengakui dosanya di Padang Arafah. Memang di Padang Arafah inilah Adam dan Hawa bertemu kembali setelah berpisah selama 100 tahun dibukit Jabal Rahmah.
Sewaktu Adam dan Hawa bertemu, Hawalah yang pertama minta maaf. "Maafkan saya karena sayalah engkau terusir dari sorga, kesalahan sayalah yang menyebabkan engkau terbawa-bawa. Maafkanlah saya wahai junjunganku. Padahal di Sorga, apapun yang kita inginkan dapat kita peroleh, namun aku masih saja menginginkan yang lain". "Bukan demikian wahai Siti Hawa, kekasihku" Jawab Adam, "dalam hal memakan buah khuldi sebetulnya juga karena keinginanku, aku sebetulnya yang juga ingin merasakan bagaimana nikmatnya buah khuldi itu".
Berdua mereka juga sama-sama melakukan pengakuan dosa, dan mengucapakan doa yang terkenal yang tercantum dalam Al-Qur'an Rabbana Dhallamna anfusana, waillam taghfirlana watarhamna lanakunna na minal khasirin". Ya Allah kami telah aniaya pada diri kami sendiri, kalau bukanlah karena keampunan dan kasih sayangMu, tentulah kami kelompok pada orang-orang yang rugi.
Adam dan Hawa tobat, tobat yang sebenar benarnya tobat, menyesal dan tidak akan mengulang lagi kesalahannya. Dan telah ditebusnya kesalahannya dengan tercampak kedunia menderita bertahun-tahun.
Setiap kali seseorang membikin kesalahan berbuat dosa, selalu dapat nasehat "Bertobatlah, kembalilah padaNya, kembalilah kepada jalan Nya yang lurus dan yang benar. Mungkin selama ini telah jauh menyimpang, mungkin engkau telah tersesat, kembali, kembalilah ke jalanNya yang lurus dan benar, bacalah doa dalam Shalatmu "Ihdinas Shiratal Mustaqiim".Sayapun teringat akan petuah Sang guru sewaktu saya melakukan kesalahan : "Wahai anakku, Kembalilah dan datanglah lagi kepada Nya, nanti akan dibukakan Nya rahasia besar dan terlindung yang selama ini tak kau ketahui. Pintunya senantiasa terbuka, datanglah pada Nya, sekali-kali Dia tak akan pernah mengecewakannmu, bertobatlah".
Tobat berarti menyesal, atau kembali. Dengan menyesali keadaan dan kejadian yang telah berlalu. Tobat kepada Allah mengandung arti antara lain kembali atau datang kepadaNya dengan perasaan menyesal atas perbuatan atau sikap diri yang tidak benar di masa lalu dan dengan tekad untuk taat kepada Nya, dengan kata lain ia mengandung arti kembali pada sikap perbuatan yang lebih baik dan lebih benar.
Nah, di bulan Haji tahun ini, agaknya kesempatan bagi kita untuk merenung sejenak, segala dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Menghitung dan menghisab diri sebelum di lakukan perhitungan kelak, Dan memasang serta meluruskan niat yang sungguh-sungguh akan merobah sifat yang mewarnai diri, berjanji dan bertobat untuk tidak mengulanginya.lagi. Tobat yang diinginkan itu adalah tobat yang sungguh-sungguh yang disebut dengan Tobatan nasuha. Yakni tobat tanpa keinginan lagi kembali kepada kesalahan atau kekeliruan yang sebelumnya di perbuat. Setiap Tobat yang sungguh-sungguh dengan niat yang tulus dan ikhlas, niscaya disambut Tuhan dengan senang, Karena Dia adalah penerima tobat dan senang pada orang yang terus-menerus bertobat. Untuk itu saya teringat akan sebuah Firman suci Nya dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 104 : "Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah menerima Tobat dari hambaNya dan menerima saksi dan bahwasanya Allah Maha peneriam Tobat lagi maha Penyayang".
Selesai melaksanakan ibadah di Padang Arafah, malamnya kita berangkat untuk mabid di Muzdhalifah. Memilih batu-batu kecil. Ibarat peluru yang dipersiapkan untuk dilemparkan pada Iblis di Jumratul Ula, Wustha dan Aqabah. Peristiwa ini menggambarkan dan mengulang kembali peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim as A.S. Seperti terbaca dalam sebuah Firman SuciNya dalam Al-Qur'an.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim as. Ibrahim as berkata :" Wahai anakku, aku telah melihat dalam mimpiku, bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu." Ismail as menjawab :"Wahai ayahku. laksanakanlah perintah Allah itu, ayah akan dapati aku sebagai orang yang sabar."(QS. 37:102).
Sebagai ayah sebetulnya Ibrahim as berkuasa atas anaknya, tiada seorangpun yang bisa membantah atau melarang apa yang dilakukannya pada anaknya, dia berkuasa penuh, mau dihitamkan atau diputihkan terserah dia. Sebagai Rasul dan nabi Ibrahim as harus segera menjalankan perintah Allah. Apalagi dia jelas menerima wahyu dan perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya sebagai kurban, namun dia tetap meminta kepada anak-nya, menyuruh fikirkan dan berdialog. Tidak terlihat sedikitpun dalam peristiwa itu unsur pemaksaan dan tak terlihat sedikitpun bahwa Ibrahim as memperlihatkan kekuasaannya sebagai ayah serta dia mau menjalankan perintah semaunya sendiri. Dia bermusyawarah, diajaknya anaknya yang terkena akibat perintah itu untuk mencari jalan dan ikut memutuskan.
Dalam ayat ini menggambarkan kepemimpinan Nabi Ibrahim as, sewaktu dapat wahyu dari Allah SWT yang memerintahkan beliau agar menyembelih anak kandungnya Ismail as as. Ibrahim as menyampaikan wahyu Allah itu kepada Ismail as, dengan cara yang sangat mengharukan.
Ibrahim as ternyata menanyakan dulu pendapat anaknya, Ismail as. disertai nasehat agar Ismail as memikirkan sendiri, makna perintah Allah itu. Baru sesudah itu perintah itu terlaksana berdasarkan keputusan bersama antara sang ayah dan sang anak. Bukan semata-mata keputusan sang ayah, yang dalam hal ini bertindak sebagai atasan atau pimpinan.
Cara Ibrahim as ini dalan manajemen modern ternyata sangat menentukan keberhasilan setiap pemimpin, karena anak buah merasakan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang dibebankan, sehingga komitmen mereka semakin tinggi dan motivasi merekapun akan sangat tinggi. Dengan demikian setiap orang akan memberikan partisipasinya dalam menjalankan setiap keputusan.
Betapa tingginya partisipasi itu terlihat dalam kisah Ibrahim as dan Ismail as sewaktu akan melaksanakan penyemblihan itu, agar penyembelihan itu berjalan lancar. Berkata Ismail as kepada ayahnya :"Wahai ayahku, sebelum penyembelihan dilaksanakan ada 3 permohonanku padamu :
1. Tolong asah pisau tajam-tajam agar proses penyembelihan itu bisa berjalan lancar.
2. Tolong ikat kaki dan tanganku agar engkau tidak melihat aku menggelepar-gelepar.
3. Bajuku yang berlumuran darah nantinya, tolong berikan kepada ibuku, agar beliau tahu, bahwa saya adalah anaknya yang berbakti pada orang tua.
Dengan membawa serta bawahan mengambil keputusan, maka pekerjaan yang akan dilaksanakan itu akan semakin tinggi efesien dan efektivitasnya. Sehingga ketika iblis menggoda ingin membatalkan perintah itu di jumratul Ula dengan membujuk Ismail as dan Ibrahim as dengan mengatakan, tak mungkinTuhan sekejam itu memerintahkan sembelih anak, langsung Ismail as menjawab dan meminta agar ayahnya terus melaksanakan perintah Tuhan Itu. Demikian pula sewaktu anak dan ayah ini di goda di jumratul Wustha dan jumratul Aqabah. Anak dan ayah ini tak mempan dengan bujukkan dan rayuan Iblis dan syetan. Sehingga akhirnya kedua anak dan ayah itu sampai ketempat penyembelihan. Setelah pisau diasah tajam-tajam, kaki dan tangan Ismail as dikat agar dia tidak menggelepar, dan disaat Ibrahim as menempelkan pisau yang tajam keleher anaknya dan akan menggorohnya. Ketika itulah Tuhan mengganti Ismail as dengan seekor kibas. Cukup Ibrahim as pengorbananmu sudah di terima. Sesungguhnya Kata Tuhan :"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tapi ke taqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. Surat Al-Haji ayat 37.
Di Jumratul Ula iblis di lempar dengan batu, demikian pula di Jumratul Wustha dan Jumratul Aqabah. Ini pulalah yang di syariatkan dalam menunaikan ibadah Haji; melempar di Mina, di jumaratul ULa, Wustha dan 'Aqabah. Dan disini pulalah perjuangan yang sangat berat sewaktu menunaikan ibadah Haji, disini pulahlah orang banyak mati, mati terinjak-injak dan bermacam cobaan dan godaan justru banyak terjadi waktu melempar ini. Kitapun belum melupakan kurban yang jatuh waktu di Terowongan Al Mu'asyim beberapa tahun yang silam.
Memang cobaan dan godaan sewaktu menunaikan ibadah Haji sangat banyak dan sangat berat, maka dituntut bagi siapa yang menunaikan ibadah Haji ke tulus dan keikhlasan, bahwa Ibadah Haji yang di kerjakan itu semata-mata hanya karena Allah, bukan karena apa dan siapa.
Setiap ibadah, baru sah jika dibarengi dengan niat karena Allah , dan itupun diulangi sekali lagi ketika kitab suci itu berbicara tentang haji dan umrah Surat Al-Baqarah ayat 196:"Dan sempurnakanlah ibadah Haji dan umrah karena Allah"
Rupanya jemaah Haji dituntut pertama kali untuk meluruskan niatnya. Tuntutan dan tuntunan ini wajar, karena cukup banyak godaan yang dapat mengalihkan niat suci itu. Bukan saja perjalanan ke tanah suci" atau gelar "haji" yang bakal disandang, tetapi juga status sosial yang sedikit atau banyak dapat meningkat.
Ka'bah merupakan lambang dan wujud keesaan Allah, bertawaf di kelilingnya melambangkan aktivitas manusia yang tidak pernah terlepas dari pada_Nya. Ka'bah bagaikan matahari yang menjadi pusat tata surya dan di kelilingi oleh planet-planetnya. Ka'bah adalah rumah ibadah yang pertama sekali didirikan seperti terbaca dalam Surat Ali Imran ayat 96 :"Sesungguhnyarumah yang mula-mula di bangun untuk tempat beribadat manusia ialah Baitullah yang di Mekah yang di berkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, diantaranya Maqam Ibrahim as; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam".Dengan bertawaf disana, seseorang mengikat janji untuk menjadikan segala aktifitasnya terikat oleh daya tarik pusat wujud ini, Yakni Allah S.w.t.
Sa'i yang berarti adalah usaha adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi, bukankah Hajar Ibu Ismail as as mondar mandir disana mencari air untuk putranya. Dengan ber sa'i bertekad untuk tidak berpangku tangan menanti turunnya "hujan" tetapi tekadnya itu berangkat dari Shafa yang arti harfiahnya kesucian dan ketegaran dan berakhir di Marwah yang artinya "kepuasan sikap menghargai bermurah hati dan memaafkan" Sehingga jika kembalinya nanti usahanya masih berangkat dari kekotoran dan atau tidak bermuara pada ketaqwaan, penghargaan dan kemurahan hati, maka jauhlah panggang dari api.
Bulan Zulhijjah adalah bulan pengorbanan, bulan peningkatan keikhlasan, peningkatan amal saleh, peningkatan kerja. "Selesai menunaikan Shalat, bertebaranlah dimuka bumi, cari rezki Allah", bekerja dan ber usaha. "Bila engkau selesai dari satu pekerjaan kerjakan pekerjaan yang lain" perintah Tuhan dalam sebuah ayatNya.
Jadi ketika menunaikan Ibadah Haji, seakan-akan kita di bawa menyelusuri dan menapaki jejak-jejak sejarah yang telah diukir oleh Nabi Ibrahim as bersama keluarganya.Kalau tidak demikian, yakinlah bahwa anda belum menunaikan ibadah haji. Memang anda telah berkunjung ke Mekkah, tetapi belum melakukan Thawaf. Anda telah membeli kegersangan Padang Pasir, tetapi anda belum tiba lagi di Arafah.
Untuk semua itu, bagi yang akan menunaikan ibadah Haji, Marilah kita luruskan niat, bahwa ibadah Haji hanya semata-mata ihklas karena Allah, sesuai dengan Firman Suci_Nya dalam Al_Qur'an surat Al_Baqarah ayat 196: ”Sempurnakanlah ibadah Haji dan Umroh karena Allah…”
Wallahu a’lam bis shawab.

Friday, January 14, 2005

Bulletin No: 003

Buletin Jum’at
AL IKHLAS


Nomor: 003/I/2005 3 Zulhijah 1425 H

QURBAN

Qurban adalah penyembelihan binatang ternak yang di laksanakan atas perintah Allah pada hari-hari raya Iedul Adhha / Qurban.
Definisi Udhhiyyah. Idhhiyyah, Dhahiyyah, Dhihiyyah, Adhhat, Idhhat dan Dhahiyyah Yaitu binatang yang disembelih dengan tujuan taqarrub (pendekatan) kepada Allah pada hari Iedul Adhha sampai akhir hari-hari tasyriq diambil dari kata dhahwah disebut awal waktu pelaksanaan yaitu dhuha (lisanul Arab 19:211, mu'jam Al-Wasith 1:537)
Hukum Berkurban.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan berqurban dalam firmanNya, artinya: "Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah." (QS. 108: 2)
"Dan kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah." (QS 22: 36)
Hukumnya adalah sunnah muakkad, bagi yang mampu, sebagaimana hadits beliau riwayat Anas radhiallaahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa salam berkurban dua kambing yang bagus, bertanduk, beliau menyembelih keduanya sendiri dengan tangan beliau, menyebut nama (asma Allah) dan bertakbir. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Adapun orang yang menghukumi wajib dengan dasar hadits, artinya: "Siapa yang memiliki kemampuan namun tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjidku." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadits ini derajatnya dha'if dan tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada perowinya yang dha'if yaitu Abdullah bin Iyasy sebagaimana diterangkan oleh Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Hazm (Ibnu Majah 2: 1044, Al-Muhalla 8:7). Imam Syafi'i berkata: Andaikan berkurban itu wajib maka tidaklah cukup bagi satu rumah kecuali mengurbankan setiap orang satu kambing atau untuk tujuh orang satu sapi, akan tetapi karena tidak berhukum wajib maka cukuplah bagi seorang yang mau berkurban jika menyebutkan nama keluarga pada kurbannya ... dan jika tidak menyebut-kannya pun tidak berarti meninggalkan kewajiban (Al-Umm 2: 189).
Binatang yang dikurbankan
Binatang yang akan dikurbankan hendaklah telah berumur: Unta 5 tahun, Sapi 2 tahun, kambing 1 tahun atau hampir 1 tahun, ulama madzhab Maliki dan Hanafi membolehkan kambing yang telah berumur 6 bulan asal gemuk dan sehat (Al-Mughni: 9:439) Ahkamu Adz Dzibah oleh Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris: 132). Binatang yang dikurbankan adalah unta, sapi dan kambing karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka." (Al-Hajj: 34). Binatang itu harus sehat tidak memiliki cacat, sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Empat cacat yang tidak mencukupi dalam berqurban: Buta yang jelas, sakit yang nyata, pincang yang sampai kelihatan tulang rusuknya dan lumpuh / kurus yang tidak kunjung sembuh." (HR. At-Tirmidzi)
Waktu Penyembelihan
Setelah shalat Iedul Adhha usai, maka penyembelihan baru diizinkan dan berakhir saat tenggelam matahari hari tasyrik (13 Dzulhijjah){Ibnu Katsir, 3/301}, karena Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam besabda: "Siapa yang menyembelih sebelum shalat (Ied) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan siapa menyembelih setelah shalat dan dua khutbah maka sungguh dia telah menyempurnakan kurbannya dan sesuai dengan sunnah." (disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim).
Kesunahan dalam berkurban:

- Menajamkan Pisau, Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Sesungghnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan berbuat baik pada segala sesuatu, maka jika kalian membunuh, perbaikilah pembunuhan jika kalian menyembelih, perbaikilah penyembelih-an, haruslah seseorang mengasah mata pedangnya dan menyembelih dengan baik binatang sembelihan." (HR. Al-Jamaah kecuali Al-Bukhari).
- Menyembunyikan pisau dari pandangan binatang, Ibnu Umar Radhiallaahu anhum Berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menyuruh agar, mempertajam pedang dan menyembunyikan dari pandangan binatang (yang akan disembelih).
- Tidak membaringkan binatang sebelum siap alat dan sebagainya. Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu menceritakan bahwa sese-orang membaringkan kambing sedang dia masih mengasah pedangnya, maka Nabi Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Apakah anda akan membunuhnya berkali-kali? mengapa tidak anda asah pedang anda sebelum anda membaringkannya." (HR. Al-Hakim).
- Menjauhkan/menutupi penyembelihan dari binatang-binatang yang lain, sebab hal ini termasuk menyakiti dan menjauhkan rahmat. Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu pernah memukul orang yang melakukannya (Mughni Al-Muhtar: 4/272)
- Memberi minum atau memperlakukannya sebaik-baiknya, Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu melihat orang menyeret binatang kurban pada kakinya ia berkata: "Celaka kalian ! tuntunlah ia menuju kematian dengan tuntunan yang baik."
Penyembelihan Kurban
Disunnahkan bagi yang bisa menyem-belih agar menyembelih sendiri. Adapun do'a yang dibaca saat menyembelih adalah: "Ya Allah ini dari ……. (sebut nama orang yang berkurban atau yang berwasiat), bismillah wallahu akbar." Sebagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam ketika menyembelih kurban seekor kambing, beliau membaca: "Bismillah wallahu Akbar, Ya Allah ini dariku dan dari orang yang tidak bisa berkurban dari umatku." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Sedang orang yang tidak bisa menyembelih sendiri hendaklah menyaksikan dan menghadirinya.
Pembagian Kurban
Allah berfirman, artinya: "Maka makanlah sebagiannya (dan sebagian lagi) berikalah untuk dimakan orang-orang sengsara lagi fakir." (Al-Hajj: 28) "Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta." (Al-Hajj: 36).
Sebagian kaum salaf lebih menyukai membagi kurban menjadi tiga bagian: -sebagian untuk diri sendiri- sepertiga untuk hadiah orang-orang mampu dan sepertiga lagi shadaqah untuk fuqara. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/300).
Hikmah Kurban
- Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim yang taat dan tegar melaksanakan kurban atas perintah Allah meskipun harus kehilangan putra satu-satunya yang didambakan (QS As-Shaf: 102-107)

- Menegakkan syiar Dinul Islam dengan merayakan Iedul Adhha secara bersamaan dan saling tolong menolong dalam kebaikan(QS. 22: 36) Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan, minum dan dzikir kepada Allah Azza wajalla." (HR. Muslim dalam Maktashar No. 623)
- Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmatNya, maka mengalirkan darah binatang kurban ini termasuk syukur dan ketaatan dengan satu bentuk taqarrub yang khusus: (QS 22: AL-Hajj: 34) Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Ilahmu ialah Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang2 yg tunduk patuh (kepada Allah). (QS. 22:34)
Di hari-hari itu juga sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih, kebaikan dan kemasyarakatan, seperti bersilaturahmi, menjaga diri dari rasa iri, dengki, mendongkol maupun amarah, hendaklah menjaga kebersihan hati, menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang2 yg terlilit kekurangan dan kesulitan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa membimbing kita kepada cinta dan keridhaanNya. Aamiin.

Friday, January 07, 2005

Bulletin No: 002


Buletin Jum’at
AL IKHLAS

Nomor: 002/I/2005 26 Dzulqaidah 1425 H

Ma'rifatullah, Puncak Aqidah Islam
Aqidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini:

- Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang terjadi pada konsep Trinitas dsb.
- Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” (QS.30:30).

- Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah :”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ (QS.42:21).

- Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang
yangbenar”(QS 2:111).
- Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka” (QS. 43:22).

PENGERTIAN MA'RIFATULLAH

Ma'rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.

Menurut Ibn Al Qayyim : “Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.

Ma'rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma'riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah

CIRI-CIRI DALAM MA'RIFATULLAH

Seseorang dianggap ma'rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali:
- asma' (nama) Allah
- sifat Allah dan
- af'al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.
Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan:
- sikap shidq (benar) dalam ber -mu'amalah (bekerja) dengan Allah,
- ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
-
pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
- sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
- berda'wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
- membersihkan da'wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.
Figur teladan dalam ma'rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan.Muslim.
Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.
Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”(QS.35:28).Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu' (randah hati), dari buruk hati menjadi.nasehat”.

URGENSI MA'RIFATULLAH
Ma'rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma'rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma'rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). (QS.47:12).
Ma'rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)

Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.
Dari Ma'rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
Dari Ma'rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan.ruh.
Dari Ma'rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akherat.

SARANA MA'RIFATULLAH Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma'rifatullah adalah :
1. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS 10:101 atau QS 3: 190-191).Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu'aim
2. Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma'rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah:“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan..”QS.57:25
3. Asma dan Sifat Allah

Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan

seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah:“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma' al husna (nama-nama yang terbaik) (QS. 17:110).Asma' al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah:
“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” (QS. 7:180).
Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma'rifatullah). Dan ma'rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma'rifah wa al itsbat (mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.

wallahu'alam


Ayo kita Berqurban

Saudaraku seiman..

Kiranya kita kenang kisah IIbrahim as yang diperintahkan Allah untuk mengorbankan putra tercintanya Ismail as.

Sebuah teladan agung ketika seorang manusia diuji keikhlasannya untuk mengorbankan sesesorang yang sangat dicintainya – dan dengan puncak keikhlasan bapak dan anak itu mematuhi perintah Allah.
Sedangkan kita tidak diminta untuk mengorbankan anak kita. Kita “hanya” diminta mengorbankan hewan qurban bila kita ada keluasan rezeki.

Lalu…...
Apakah kita akan mengabaikan perintah Allah padahal kita memiliki kemampuan untuk berqurban..?

Saudaraku seiman.
Mari kita beramai-ramai berkurban demi menegakkan syariat Allah.

Panitia Qurban Masjid Al Ikhlas siap menerima dan menyalurkan hewan Qurban Anda.