Friday, March 24, 2006

MENGAWAL RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

MENGAWAL RUUANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
Buletin al-Islam Edisi 297
.
Menyedihkan, di tengah-tengah keinginan bangsa ini untuk menata kehidupan moral masyarakat menjadi lebih baik dengan satu cara, yakni dengan mengeluarkan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP), masih ada segelintir orang/lembaga-yang menolaknya. Penolakan tersebut jelas terlihat 'konyol' dan 'tidak masuk akal'. Bagaimana tidak? Upaya untuk menata kehidupan moral yang lebih baik ditolak hanya demi kepentingan pribadi, golongan, bisnis, dan juga kepentingan asing yang berupaya menghancurkan generasi muda kita.
.
Argumentasi Penolakan
.
Ada beberapa alasan yang sering dikedepankan oleh para penolak Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP)-jika diberlakukan.
.
Di antaranya:
.
Pertama, UU APP, jika diberlakukan, akan membunuh kreativitas para seniman. Jika kita telaah lebih dalam, ternyata kreativitas yang dimaksud oleh kelompok yang menolak lebih diarahkan pada kreativitas penciptaan seni semata-mata (itu pun dengan ukuran-ukuran seni yang tidak jelas), bukan pada kreativitas penciptaan ilmu dan teknologi guna peningkatan kesejahteraan hidup. Kreativitas jelas tidak boleh dilarang, namun perlu diarahkan, jangan sampai merusak tatanan kehidupan bermasyarakat; sebut saja penciptaan seni yang mengeksploitasi seks dan sensualitas. Lagi pula, jika para seniman hanya bisa tumbuh kreativitasnya ketika karyanya mengesploitasi seks dan sensualitas semata-mata, itu menunjukkan bahwa mereka tidak kreatif alias jumud. Sebab, mereka seolah tidak mampu menghasilkan karya-karya kreatif, kecuali yang mengeksploitasi kepornoan.
.
Kedua, UU APP akan mematikan pariwisata. Alasan ini juga perlu dikritisi. Jika alasan penolakannya adalah khawatir industri pariwisata akan mati dengan adanya UU APP, berarti secara tersirat industri pariwisata kita memang hanya menjual kepornoan, bukan industri yang menjual keindahan panorama alam, kelezatan makanan, kenyamanan tempat wisata, dan keramahan masyarakat. Padahal unsur-unsur inilah yang seharusnya dijual sebagai pariwisata, bukannya unsur-unsur yang berbau seks dan kepornoan, baik pornografi dan pornoaksi.
.
Ketiga, UU APP akan memberangus kebudayaan. Banyak pihak menilai, jika UU APP disahkan maka masyarakat Papua yang biasa memakai koteka, para wanita Jawa yang biasa pakai 'kemben', para wanita Bali yang biasa berpakaian terbuka, dan lain-lain dikhawatirkan akan dilarang. Untuk menjawab argumen ini tentu kita harus sepakat terlebih dulu, kebudayaan seperti apa yang harus dipertahankan dan harus dilestarikan. Kebudayaan yang harus dilestarikan tentu haruslah kebudayaan yang mencerminkan ketinggian martabat manusia dan selaras dengan nilai-nilai yang telah digariskan sang Pencipta, Allah SWT. Kebudayaan Jahiliah atau rendah serta tidak sesuai dengan martabat dan nilai-nilai yang digariskan sang Pencipta jelas tidak perlu dilestarikan. Kebudayaan yang mengumbar aurat atau mengeksploitasi perempuan demi memuaskan hasrat seksual laki-laki, misalnya, jelas tidak perlu dilestarikan hanya karena alasan seni, menjaga tradisi leluhur, memelihara kearifan (baca: budaya) lokal, dan lain-lain. Bukankah lebih baik, misalnya, orang-orang Papua yang terbiasa memakai koteka mulai kita ajari berpakaian yang 'benar' dan lebih 'beradab', yakni dengan pakaian yang menutup aurat.
.
Keempat, UU APP, jika diberlakukan, tidak mendidik masyarakat. Sebab, masyarakat nantinya melakukan perbuatan-perbuatan bermoral sekadar dilandasi keterpaksaan sebagai akibat diterapkannya hukum, bukan karena faktor kesadaran pribadi. Padahal kesadaran pribadi inilah, menurut mereka, yang seharusnya dikembangkan.
Alasan seperti ini juga mengada-ada. Sebab, jika logika ini dipakai, buat apa kita susah-susah membuat UU Anti Korupsi atau UU Anti Narkoba, misalnya. Sudah saja masyarakat dibiarkan memiliki kesadarannya sendiri untuk tidak korupsi dan tidak menggunakan narkoba. Tentu naif, bukan?! Sebab, justru salah satu fungsi hukum atau undang-undang-di samping untuk merekayasa masyarakat-adalah juga untuk mendidik masyarakat supaya mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah; mana yang bermoral dan mana yang tidak; mana yang baik dan mana yang buruk; dst. Artinya, adanya hukum atau UU justru demi terciptanya kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat.
.
Kelima, kalau tujuannya adalah melarang industri pornografi maka tidak diperlukan produk hukum lagi; diefektifkan saja UU yang sudah ada seperti KUHP dan UU Pers. Alasan ini juga cenderung mengada-ada. Kita tahu bahwa KUHP dan UU Pers kita tidak berdaya dalam menjerat pornografi dan pornoaksi. Karena itu, adanya UU APP ini justru harus kita pahami sebagai pelengkap atau pemerkuat UU yang sudah ada.
.
Keenam, tubuh manusia adalah keindahan yang merupakan anugerah dari Tuhan sehingga perlu disyukuri dan 'dinikmati'. Argumentasi ini jelas merupakan logika orang 'kurang iman'. Seharusnya ketika dikatakan bahwa tubuh adalah keindahan hasil ciptaan Tuhan maka harus juga dipahami bagaimana Tuhan mengatur tubuh manusia. Jelas, Allah SWT, sang Pencipta sekaligus pemilik tubuh manusia, telah melarang kita untuk 'memamerkan' keindahan tubuh kita di tempat umum. Allah SWT justru telah memerintah kita untuk menutup aurat kita rapat-rapat di muka umum. Allah SWT, misalnya, telah mewajibkan kaum wanita mengenakan kerudung atau khimâr (QS an-Nur [24]: 31) sekaligus memakai jilbab atau pakaian sejenis abaya yang longgar dan tidak tipis (QS al-Ahzab [33]: 59) ketika mereka hendak keluar rumah.
.
Ketujuh, kekhawatiran mayoritas menjadi tiran atas minoritas. Yang dimaksud mayoritas tentu Islam, sedangkan yang minoritas adalah non-Islam. Artinya, dalam pandangan mereka, jika UU APP ini disahkan maka Islam akan menjadi tiran dan menindas non-Islam. Jelas ini adalah kesalahan fatal. Sebab, tatkala Islam diterapkan secara sempurna maka kebaikan dan kemaslahatan bukan hanya untuk kaum Muslim semata, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Sebab, demikianlah apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[
Tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat atas seluruh alam. (QS al-Anbiya [21]: 107).
Lagi pula, dalam agama-agama samawi manapun, pornografi dan pornoaksi adalah terkutuk. Karena itu, alasan di atas sebenarnya lebih ditujukan untuk memojokkan Islam, bukan semata-mata menolak UU APP saja.
.
Kedelapan, UU APP akan memicu perpecahan (disintegrasi) bangsa. UU APP dianggap akan mendorong beberapa daerah untuk melepaskan diri dari negeri ini. Alasan ini pun mengada-ada. Sebab, pengesahan UU APP justru akan semakin mempererat tali persaudaraan, bukan memecah-belah. Sebab, semangat dalam UU tersebut adalah demi kebaikan bersama. Walhasil, alasan disintegrasi hanyalah 'gertak sambal' semata, sebagaimana tatkala akan disahkannya UU Sisdiknas dan UU Kerukunan Umat Beragama.
Akarnya adalah Sekularisme
.
Jika ditelaah lebih jauh, berbagai alasan para penolak RUU APP disebabkan oleh cara pandang mereka yang sekular, yakni cara pandang yang menihilkan agama. Dalam pandangan orang-orang sekular, agama tidak boleh mengatur interaksi manusia di tengah-tengah masyarakat. Agama cukup hanya urusan pribadi. Cara pandang inilah yang akhirnya memunculkan sikap bebas-yang tidak mau terikat oleh ajaran-ajaran agama-baik dalam berbicara maupun dalam berperilaku. Di samping itu, sekularisme merupakan akidah yang melandasi ideologi Kapitalisme. Kapitalisme sendiri telah menjadikan manfaat (utility) sebagai tolok ukur dalam kehidupan manusia. Tolok ukur inilah juga yang kemudian merasuk dalam dunia industri yang dibangun para kapitalis. Karena itu, selama industri pornografi dan pornoaksi mendatangkan manfaat dan keuntungan ekonomis, ia tidak boleh dilarang. Apalagi industri 'esek-esek' ini memang selalu mendatangkan keuntungan menggiurkan. Itulah yang ada dalam benak para kapitalis. Mereka tidak peduli dengan nilai-nilai moral maupun ajaran agama karena dianggap hanya akan merugikan mereka secara ekonomis.
Pandangan Islam
.
Islam sebenarnya telah memberikan definisi yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi. Pornografi adalah segala jenis produk grafis (tulisan, gambar, film)-baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya yang mengumbar aurat (baik aurat laki-laki maupun wanita)-yang dipertontonkan dan dijual ke tengah-tengah masyarakat. Tindakan ini jelas menimbulkan dampak buruk di masyarakat. Banyak kasus hubungan seksual di kalangan anak-anak remaja, misalnya, diawali oleh kegemaran mereka menonton VCD-VCD porno atau situs-situs porno. Karena itu, pornografi adalah tindakan yang diharamkan berdasarkan kaidah ushul fikih yang mu'tabar (diakui):
[اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى اْلحَرَامِ حَرَامٌ]
Sarana yang menjerumuskan pada tindakan keharaman adalah haram.
.
Adapun pornoaksi adalah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung, dari mulai aksi yang 'biasa-biasa' saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-klab malam, dll). Karena itu, pornoaksi juga jelas diharamkan dalam Islam, karena mempertontonkan aurat di muka umum adalah haram. Tentu saja, dalam konteks ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat; apalagi memamerkan sebagian besar anggota tubuhnya. Sebab, aurat wanita dalam pandangan Islam-yang telah disepakati oleh para ulama tanpa silang pendapat-adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Keharaman ini tentu berlaku bagi yang melihatnya, termasuk bagi para pembuat pornografi (kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dsb.).
Wahai Kaum Muslim: Kita jangan terjebak pada aksi menolak atau menerima RUU APP semata. Namun, seharusnya kita lebih kritis lagi terhadap perjalanan perumusan dan pembuatan RUU APP ini. Sebab, dalam perjalanannya, RUU APP ini semakin lama semakin jauh menyimpang dari syariat Islam. Pada isi RUU APP tersebut telah terjadi kompromi-kompromi dan reduksi terhadap nilai-nilai Islam. Sebagai misal, definisi tentang pornografi dan pornoaksi. Saat ini, pornografi dan pornoaksi hanya berlaku dalam ruang lingkup 'pelacur' semata. Adapun orang yang membuka auratnya, tetapi profesinya bukan pelacur, tidak dianggap sebagai pelaku kepornoan. Walhasil, jika UU APP justru bertentangan dengan syariat Islam maka kita harus menolaknya, bukan malah mendukungnya. Artinya, yang penting dicermati di sini adalah isi UU APP itu sendiri, apakah sesuai dengan syariat Islam atau tidak.
.
'Alla kulli hâl, marilah kita senantiasa berupaya meningkatkan keimanan diri, keluarga, dan masyarakat agar semua sadar tentang betapa pentingnya syariat diterapkan secara sempurna dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah agar kehidupan kita senantiasa diridhai Allah SWT.
Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.