Wednesday, February 20, 2008

Majelis Dzikir Al Ikhlas








Mengingat Allah SWT dengan senantiasa berdzikir kepadaNya. Majelis Dzikir Al Ikhlas menggelar acara Dzikir yang dipimpin oleh Ustadz Syifullah yang merupakan murid dari Ustadz Arifin Ilham.

Masjid Al Ikhlas Malam itu bergetar, digetarkan oleh hati-hati yang bergetar karena ikhlas menyebut AsmaNya.

Subhanallah….Alhamdulillah….walaillaha ilallah…Allahu Akbar…….

Airmata berderai……………
Bibir basah oleh Dzikrullah…
Tangan tangan terangkat mengiring do’a….

Isak tangis terdengar…..

Mengingat dosa…
Mengingat mati…
Mengingat Allah…


Tujuh sunnah harian Nabi Muhammad SAW

1. Shalat tahajud
2. Qira’at Qur’an dan terjemahaannya
3. Sholat Subuh berjamaah di Masjid
4. Sholat Dhuha
5. Bersedekah setiap hari
6. Senantiasa menjaga wudhu
7. Senantiasi Dzikir - Istighfar
.
.
Sufisme tanpa Zuhudisme

Tuhan, jangan Engkau hukum kami jika kami lupa dan melakukan kesalahan.

USTAz Muhammad Arifin Ilham melantunkan doa tersebut dengan suara serak. Air mata meleleh di pipi pimpinan majelis zikir itu. Jemaah zikir tampak ikut hanyut dan meneteskan air matanya. Itulah fenomena spiritualisme yang sering bisa disaksikan di Masjid-masjid dan sejumlah tempat lain di kota-kota besar dalam dua tahun terakhir ini.

Tetesan air mata di tengah zikir bukan identik dengan tumpahan air mata buaya. Air mata kecengengan. Ini merupakan bagian dari pengalaman spirutual ketika orang mengakui kesalahan, kekerdilan dalam perjalanan hidupnya. Sebaliknya mengakui kebesaran Tuhan, Allah SWT, yang hadir secara transenden berkat kenikmatan doa.

Annemarie Schimmel dalam buku Dimensi Mistik dalam Islam menggambarkannya sebagai pengalaman mistik atau pengalaman sufistik. Pengertiannya, ekspresi cinta kepada Yang Mutlak. Cinta Ilahi membuat si pencari mampu menyandang, bahkan menikmati segala sakit dan penderitaan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, untuk mengujinya dan memurnikan jiwanya. Apabila pengalaman ini sampai tahapan transendental, orang yang mengalami akan merasa "bagaikan elang yang membawa mangsanya", yakni memisahkannya dari segala yang tercipta dalam waktu (hlm. 2-3).

Fenomena "air mata" dalam majelis zikir merupakan bagian awal dari determinasi pengalaman spiritual agama yang digambarkan Annemarie Schimmel. Bentuk pengalaman yang dirasakan tentu saja berbeda-beda pada setiap orang. Begitu pula halnya kualitas dari pengalaman mistik, masing-masing berbeda kadarnya.

Sebagai model pendekatan dakwah, metode spiritualisme yang diterapkan oleh dai muda seperti Ustaz Muhammad Arifin Ilham dan dalam kadar tentu oleh Abdullah Gymnastiar itu bisa dikategorikan sebagai model dakwah baru di tanah air. Selama ini dakwah lebih menonjol dengan pendekatan dogmatis. Jemaah dijejali dengan norma-norma agama dan dalil-dalilnya, sesekali diselingi humor pemancing tawa. Atau, jemaah dipaksa tepekur dalam bengong, tanpa merasakan secara langsung kehadiran Tuhan, Allah SWT, di tengah sebuah forum muhasabah. Tidak ada setetes air mata pun yang berlinang selama mendengar untaian kalimat-kalimat yang diceramahkan pendakwah. Suasananya menjadi hambar.

Muhammad Arifin Ilham khususnya mengajak jemaah aktif dalam pergumulan batin. Salawat, tasbih, dan kalimat tayyibah lainnya dikumandangkan bersama. Diselingi untaian doa yang dibahasakan dalam bahasa ibu jemaah. Menyentuh kalbu dan menghanyutkan jemaah pada perasaan masing-masing. Sampai akhirnya setiap jemaah merasa diri kecil, merasakan tiada cinta yang murni kecuali cinta diri kepada Allah dan merasa Allah hadir dalam dirinya.

Fenomena ini berbeda dibanding keadaan sepuluh tahun silam. Ketika itu, para eksekutif perusahaan milik negara dan swasta gandrung mendalami seruan praktik agama di hotel-hotel dan tempat mewah lainnya. Ada kajian Alquran dan ilmu agama lainnya seperti fikih, syariat, dan tata cara menjalankan ibadah.

Apakah spiritualitas Arifin Ilham sebagai kecenderungan atau fenomena orang kota yang gandrung pada pendekatan tasawuf atau sufisme dalam beragama? Sufisme tidak sesederhana dan sebatas zikir. Sufisme sering digambarkan sebagai penerapan agama yang unik dan rumit.
Carl W. Ernest mendefinisikan sufisme dalam beberapa pengertian dengan mengutip catatan dari Qusyayri. Sufisme adalah pintu masuk menuju perilaku teladan dan pintu keluar dari perilaku yang tidak semestinya; sufisme berarti Tuhan membuatmu mati dalam dirimu sendiri dan membuatmu hidup dalam diri-Nya; sufisme yang ikhlas adalah dia (seseorang) merasa miskin ketika memiliki kekayaan, lemah ketika memiliki kekuasaan, dan tersembunyi ketika memiliki kebenaran; sufisme berarti Anda tidak memiliki apa pun dan juga dimiliki oleh apa pun; sufisme berarti meraih realitas-realitas spiritual dan berhenti dari usaha-usaha untuk memperoleh segala yang dimiliki seorang makhluk; sufisme berarti mengetuk pintu Sang Kekasih, meskipun Dia sedang memalingkanmu; sufisme adalah keadaan di mana kondisi-kondisi kemanusiaan hilang; sufisme adalah kekuatan yang menyala-nyala, yang bersinar terang (Ajaran dan Amaliah Tasawuf, Pustaka Sufi, 2003).

Dalam praktik konvensional, para pengikut sufisme memiliki keterikatan dengan mursyid (guru) yang membimbing tata cara spiritual. Guru dianggap sebagai orang suci yang akan hadir di tengah muridnya saat mengalami gejolak, kegalauan, kesedihan, dan persoalan lain. Murid dan guru biasanya memiliki keterikatan dengan tempat-tempat yang dianggap keramat atau tokoh-tokoh besar. Yang sering menjadi ciri khas sehingga dikesankan negatif, sufisme identik dengan zuhudisme atau mengasingkan diri dari dunia, melupakan harta dan kekayaan pribadinya, serta hidup dalam kepasrahan.

Dengan pemahaman tersebut, sufisme secara operasional bukan "pendekatan cinta Allah" yang bersifat instan. Jalan mencapai "hakikat cinta" berliku dan para ahli sering menamakan diri setiap tahapan dengan istilah maqam. Salah satu versi, mencapai puncak sufisme harus mengikuti mujahadah dan riyadloh. Jenjangnya mengosongkan sifat-sifat tercela (takhalli), pengisian dengan sifat-sifat terpuji (tahalli), dan akhirnya mencapai kejernihan hati (tajalli) (Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, 2004).

Setiap jenjang memiliki elemen-elemen kelengkapan atau cabang-cabang praktik menuju paripurna. Zuhud atau asketisme sebagai sikap yang mengesampingkan kesenangan dunia dan mementingkan Allah/akhirat dikenal sebagai ciri khas perilaku sufi, hanya bagian dari maqam tahalli. Tetapi banyak yang salah paham, zuhud adalah hakikat dari sufisme, sehingga citra tasawuf menjadi negatif seperti disinggung sebelumnya. Tetapi kesan demikian tidak salah. Sebab banyak mursyid memilih jalan hidup miskin, menjauhkan diri dari urusan dunia, dan seluruh hidupnya dihambakan kepada Allah.

Jalan atau sarana mencapai sufisme beragam. Zikir adalah satu cara sebelum memasuki tahapan wirid yang sering digunakan oleh pencari Allah. Muhammad Sholikhin dalam buku Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil (Pustaka Nuun, 2004) menguraikan, zikir sebagai upaya memelihara Allah dalam ingatan atau selalu mengingat dan menyebut asma Allah. Domain zikir adalah hati, pikiran dan lisan. Apabila meningkat menjadi kebiasaan yang tidak putus, diikuti dengan amal saleh seluruh anggota tubuh, maka dicapailah tahap wirid. Wirid merupakan upaya maksimal pembiasaan diri untuk selalu menghampiri Allah, baik dengan bacaan, bisikan hati, maupun perbuatan.

Sedangkan Annemarie Schimmel memberi gambaran lain yang disebutnya jalan tritunggal mencapai ketauhidan atau kesempurnaan tasawuf dengan mengutup hadis Rasulullah saw, "Syariat adalah perkataanku (aqwali), tarekat adalah perbuatanku (a'mali) dan hakikat adalah batinku (ahwali).

Apabila diakselerasikan pendapat Muhammad Sholihin dan Annemarie Schimmel, zikir bagian dari syariat atau jalan normatif tahap awal, diteruskan dengan penghayatan (internalisasi) dalam batin sebagai penanaman rasa cinta kepada Allah, dan terakhir mencapai tahapan wirid yang bisa digambarkan sebagai penyatuan sikap batin dan puncak cinta kepada Allah (makrifat).

Fenomena zikir Arifin Ilham bisa dikategorikan sebagai pintu masuk jalan sufistik. Dengan catatan, seremoni ini dilaksanakan dalam kontinuitas waktu, bukan sebatas dalam jemaah tertentu dan waktu tertentu yang disesuaikan jadwal televisi yang menyiarkan.

Yang unik dari pendekatan Arifin Ilham adalah penciptaan egalitarianisme tasawuf. Sufistik dalam tradisi konservatif biasanya dipraktikkan secara eksklusif dan menempati ruang khusus yang jauh dari keramaian. Muhammad Arifin Ilham memakai masjid, rumah tinggal sebagai media praktiknya. Jemaahnya sangat plural atau beragam. Siapa pun bisa mengikuti dan menikmati pengalaman batin atau pengalaman spiritual dalam waktu yang sama.

Setiap jemaah tidak memiliki keterikatan secara kultural, apalagi secara struktrurual dengan sang mursyid (Arifin Ilham). Ketika zikir akbar selesai, jemaah bebas. Bisa meneruskan zikir sendiri hingga menjelma sampai tingkatan wirid. Kemudian jemaah selepas kegiatan zikir bebas pula mencari jalan hidup, bekerja sebagaimana layaknya menjalani kehidupan sosial. Inikah fenomena sufisme modern?

Zikir Arifin Ilham dikategorikan sebagai bagian praktik tasawuf sangat bergantung dari sudut mana dan siapa yang memahami. Dari sudut pandang sederhana dengan mengacu pada uraian Muhammad Sholihin, perilaku zikir ini bisa diidentifikasi sebagai tasawuf progresif. Suatu praktik sufistik (pada tahapan awal) yang mengombinasikan pendekatan (subjektif) spiritualitas dengan imanen atau praktik kehidupan dunia.

Dalam tasawuf progresif salah satu tahapan penting yang jadi ciri khas berupa zuhud ditempatkan secara kontekstual. Karena alasan ini, Muhammad Sholihin mengibaratkan wirid sebagai tanah, dan kerja keras atau amal adalah tanamannya. Maka ia menempatkan zikir yang meningkat jadi wirid berfungsi dialektis. Pertama zikir adalah sebagai wujud pertanggungjawaban diri kepada Allah atas segala limpahan kemurahan dan kenikmatan. Kedua, zikir ataupun wirid cerminan salah satu perangsang bukti tanggung jawab Allah kepada kita. Semakin mewiridkan kekuasaan dan cinta-Nya di sisi kerja keras setiap hari, semakin Allah menunjukkan bukti tanggung jawab-Nya.

Fenomena frustrasi?

Spiritualisme dalam zikir Arifin Ilham mengundang tanya, apakah pilihan model ini yang diikuti oleh banyak muslim berbagai kalangan kota mencerminkan fenomena frustrasi? Frustrasi oleh kekeringan batin, kesulitan hidup, dan ketidakpastian?

Arifin Ilham dalam buku Indonesia Berdzikir menguraikan, pendekatan agama yang diterapkan laksana membangun konstruksi hidup bersama yang penuh cinta, kasih sayang, tolong-menolong yang diliputi kesyahduan melalui zikir. Arifin Ilham mengamini pendapat Muhammad Sholihin, cara yang ditempuh sebagai penciptaan transformasi ritual ke dalam dataran praksis.
Ia menyebut pendekatannya dengan istilah zikir transformatif. Jalan yang memiliki urgensi tinggi dan mendesak dioperasionalkan bagi kebangunan kembali masyarakat Indonesia menuju Indonesia baru yang agamis, pluralis, dan sekaligus nasionalis. Zikir transformatif menjadi sarana mengoreksi pribadi, masyarakat, para penyelenggara negara dari mulai yang terendah hingga lembaga kepresidenan dan lembaga tinggi negara lainnya. Terminal tujuannya bukan sekadar mereguk anggur spiritual, menikmati pertemuan dengan Tuhan. Zikirnya digambarkan sebagai transformasi revolusi tangan-tangan yang selalu berbuat kerusakan di daratan dan di lautan hingga merusak ekosistem dan lapisan ozon.

Arifin Ilham memulai zikir transformatif ketika situasi Indonesia dalam krisis multidimensional. Ketika negara dengan pendekatan manusiawi dan kekuasaan mengalami kedodoran mengatasi krisis, Maka ia menawarkan agama dipandang sebagai alternatif solusi. Inikah pendekatan jalan buntu?***

Penulis, Wartawan "Pikiran Rakyat