Wednesday, May 07, 2008

Kajian Kitab Al-Hikam

oleh Syaikh Luqman pada tanggal 23 Juni 2007.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Setelah kita ditanya oleh Ibnu Athaillah tentang empat kaifa

[kaifa yasyruqu qolbun shuwarul akwaani munthobi’atun fii mir atihi – bagaimana hati dapat bersinar sementara gambar dunia terlukis dalam cerminnya ?,

am kaifa yarhulu ilallahi wa huwa mukabbalun bi syahwatihi – atau bagaimana hati bisa berangkat menuju Allah kalau ia masih terbelenggu oleh syahwatnya ?,

am kaifa yathma’u an yadkhula hadhratallahi wa huwa lam yatathahhar min janaabati ghafalatihi – atau bagaimana hati akan antusias menghadap ke hadirat Allah bila ia belum suci dari janabah kelalaiannya ?,

am kaifa yarjuu an yafhama daqaaiqal asraari wa huwa lam yatub min hafawaatihi – atau bagaimana hati mampu memahami kedalaman misteri gaib padahal ia belum bertobat dari kesalahannya ?],

ini ada shock therapy yang luar biasa dari Ibnu Athaaillah, karena kalau tidak dipahami hati kita ketika kita menelusuri empat kaifa tersebut mengenai hudur hati kita sampai kita ini bisa terus menerus bersama Allah, maka orang bisa kaget, bisa terkejut melihat dunia ini.

Dulu ada seorang ulama mengalami stroke karena kaget, ketika menelusuri proses ruhaniah ibarat dari satu tahap ke tahap lain, dari satu langit ke langit lain, kalau digambarkan begitu seperti orang sedang menengadah melihat langit yang penuh keindahan bukan keindahan bintang-bintang, melainkan dibukakan tentang keindahan manifestasi asma’-asma’ Allah yang tersembunyi dibalik satu langit ke langit yang lain. Tiba-tiba kembali lagi ke dunia, langsung kaget, stroke.

Karena itu Beliau mengingatkan supaya kita tidak kaget dengan kalimat [14] : al kaunu kulluhu zhulmah - kehidupan dunia ini semuanya sesungguhnya gelap.
Disebut gelap untuk menggambarkan ketiadaan, tidak ada atau tidak wujud karena itu disebut zhulmah. Wa innama anaa rahuzhuhuurul haqqi fiihi – bahwa Allah itu mencahayai semesta ini, karena itu apakah kita ini di dalam nuansa limpahan cahaya atau tidak ? dilanjutkan oleh Beliau faman ra-al kauna – siapa yang melihat semesta dunia yang ada ini (makhluk Allah), wa lam yasyhadhu fiihi – tapi tidak musyahadah, digunakan kalimat wa lam yasyhadhu fiihi ini mengingatkan bahwa proses pandang memandang antara kita dengan gusti Allah itu melalui musyahadah. Di sinilah para sufi membangun istilah yang disebut dengan wahdatusy syuhud dan bukan wahdatul wujud, sebab wahdatul wujud itu berarti patheisme yaitu menyatunya alam dengan tuhan.

Alam ini fisiknya dan ruhnya adalah tuhan, itulah yang disebut pantheisme dalam filsafat Yunani. Nah disinilah dunia Islam yang dieksplorasi oleh tasawuf menolak apa yang disebut wahdatul wujud, yang benar adalah wahdatusy syuhud karena yang menyatu bukan wujudnya melainkan musyahadahnya yaitu kesaksian hatinya yang menyatu. Bagimana wujud bisa bersatu padahal wujud itu ya hanya satu.

Kalau ada wahdatul wujud berarti banyak wujud yang kemudian bersatu wujud itu, sedangkan yang berhak mempunyai sifat wujud itu hanya Allah karena itu Beliau mengatakan awalnya dengan wa lam yasyhadhu – tidak menyaksikan Allah, fiihi – di balik semesta ini, au indahu – atau di sisi semesta ini, au qablahu – atau sebelum adanya semesta ini, au ba’dahu – atau sesudah digulungnya semesta ini, faqad a’wazahu wujuudul anwaar – orangitu telah kehilangan wujud cahaya, wa hujibat ‘anhu syumuusul ma’aarifi bi suhubil atsar – dan orang itu tertutup dari cahaya matahari makrifat oleh mendung-mendung kemakhlukan semesta dunia ini. Dari sinilah kenapa disebut dunia itu suatu pesona yang memperdayai kita karena itu sebenarnya tidak ada hanya bayangan saja seperti orang melamun membayangkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, hanya seakan-akan ada saja. Kalau orang masuk di dalam lamunan itu, maka dia akan kehilangan cahaya lalu orang hidup dalam ghurur tadi. Jadi kehidupan dunia itu bisa memperdayai karena orang bisa kehilangan Allah.

Kalau orang bisa yasyhadhu fiihi bisa musyahdah di balik dunia, di sisi dunia, sebelum adanya dunia dan setelah dunia ini tidak ada maka orang tidak akan pernah kehilangan nur – yang digambarkan sebagai cahaya matahari makrifat.

Hal ini penting sekali karena Allahu nuurus samaawaati wal ardh – Allah itu cahaya langit dan bumi [Q.S. 24:35], maksudnya bahwa Allah itu mencahayai, nur itu adalah asma’ dan sifat. Sifat nurNya itu adalah ada di langit dan di bumi, karena itu apa saja – kalau kita ingin mendengar tasbihny alam semesta ini maka musyahadah dulu di balik apa saja yang tampak. Bahwa di balik itu Allah. Seperti misalnya bisa digambarkan soal hubungan interaksi kita dengan Allah melalui apa yang kita pandang – man ra-a nafsahu faqad ra-a rabbahu, siapa yang melihat dirinya maka ia akan melihat tuhannya. Kita itu melihat diri kita apa ? Oh… aku melihat diriku sebagai abd / hamba. Dia melihat tuhannya pada tingkat abd ini berarti ada ubudiyah maka dia melihat tuhannya sebagai rab yang rububiyah.

Interaksinya : siapa yang melihat dirinya dengan taubat, contohnya seseorang yang melihat dirinya bersalah dan melakukan taubat maka dia akan melihat tuhannya dengan sifat maghfirah. Siapa yang mengenal dirinya dengan doa, misalnya seseorang yang berkesadaran untuk full dengan doa karena di al qur’an disebutkan yaa ayyuhaannaasu antumul fuqaraa-u ilallah – hai manusia kamu sangat butuh banget sama Allah [Q.S. 35:15], oleh karena itu aku harus mohon – kalau aku mohon aku harus kenal tuhan. Begitu tuhan kenal dengan si pendoa maka dia akan kenal Allah dengan ijabahNya. Proses itu berlangsung terus menerus tidak habis-habisnya.

Dari sinilah Anda mengenal pohon, air, hawa panas, itu semua tentang diri kita sebenarnya, pelajaran dari Allah tentang profile dan prototype diri kita sendiri. Lalu apa ? Oh.. iya Allah sedang menggerakkan apa – sifat apa di situ ? Itulah awal musyahadah.

Dulu saya ada kawan di Jakarta, ceritanya lagi jadzab yang membawa hikmah tetapi jangan ikut-ikut lho ya… Perusahaan kalau di Jakarta kalau ada kantor gede bikin listing sumbangan mau bikin musholla, kebanyakan yang memberikan sumbangan ditulis hamba Allah seratus ribu misalnya, nah kawan saya lagi agak gendeng ditulis saja Allah seratus ribu – geger sekantor itu. Karena kawan saya agak kontroversial, maka dipanggil oleh direkturnya, “Rosyid, sini !, Kenapa mengaku tuhan ? Ini ada bukti-buktinya”, “Ini tanda tangan siapa ?”. Si Rosyid menjawab, “Ini tanda tangan saya memang, tapi sebenarnya begini Pak tujuan saya agar temen-temen kantor nanti ketika membangun musholla merasa bahwa yang membangun itu gusti Allah juga bukan cuman diklaim oleh temen-temen sekantor ini”. “Lho maksudmu gimana kok kamu tulis Allah begini ?”. “Lha iya sekarang saya minta Bapak menulis di kertas tulisan apa saja”. Kemudian ditulis misalnya : rencana pembangunan musholla. “Siapa Pak yang nulis tadi ?”. “Saya”. “Apa bukan pulpen yang nulis ? Sama seperti saya, saya ini cuman pulpennya gusti Allah, jadi engga berhak mengaku tadi tulisan saya, tulisannya gusti Allah juga”. Jadi semua itu tadi merupakan gambaran saja bahwa itu cermin. Dulu Syekh Jalaluddin ar Rumi yang punya tarekat Maulawiyah, pernah mengadakan lomba lukis, ada orang yangmengikuti tanpa membawa kertas tetapi membawa cermin. Saat lukisan dikumpulkan, ditanya orangtersebut tentanglukisannya dan dia menjawab, “Bapak minta lukisan apa ? Mau lukisan gunung ? Ini dia” sambil menghadapkan cermin ke arah gunung.

Dari hal ini sebenarnya Syekh Jalaluddin ar Rumi ingin mengingatkan bedanya seorang sufi dengan intelektual atau cendekiawan. Kalau intelektual/ilmuwan/cendekiawan ya seperti pelukis itu kerjanya menggambar, mengukur, menghitung tetapi tidak bisa 3 dimensi seperti dalam cermin itu. Nah si sufi ini hanya ingin memotret saja yang pas. Qolbul mu’minin baitullah – qolbunya orang beriman itu rumah Allah, cermin Allah. Cermin itu kecil, tetapi kenapa bisa mewadahi seluruh gambar bukit yang ada di hadapannya ? Itu untuk menjawab pertanyaan bahwa Allah itu tak terhingga tetapi kok dalam hadis Qudsi berfirman bahwa yang bisa memuat Allah cuma hati orang yang beriman. Lha hati itu seperti cermin tadi, karena itu hati kita ini tiap hari harus digosok terus supaya ada pancaran nur tadi, nurnya Allah biar bisa persis terpantul dalam hati kita. Kalau tidak bisa persis ya karena salah kita saja, soal yaqin kita kepada Allah saja.

Dalam memandang alam semesta kita tidak boleh memandang wujudnya saja, karena perintah Allah itu kita disuruh memnadang yang tersembunyi di balik yang wujud dalam rangka musyahadah.

Di sanalah ada af’al, asma’ dan sifat Allah, sehingga akhirnya seseorang hisa memahami kalau Allah menyebutkan bahwa seluruh yang ada di langit dan di bumi bertasbih.
Daun akan menyucikan Allah karena dia tidak akan mengklaim dirinya tumbuh karena dirinya, kalau dia mengklaim dia tumbuh dengan sendirinya berate dia mengotori, mengurangi af’al, asma’ dan sifat Allah.

Dilanjutkan dengan [15] : mimmaa yadulluka ‘ala wujuudi qahrihi subhaanahu an hajabaka ‘anhu bimaa laisa bimaujuudin ma’ahu. Salah satu sifat Qahar-nya Allah yaitu memaksanya Allah, antara lain adalah menutup diri kita ini dengan sesuatu tutup yang sebenarnya tutup itu tidak pernah ada. Manusia sering kali tertutup antara dirinya dan tuhanya dengan sesuatu, bisa dunia, bisa hawa nafsu, bisa khayalan, bisa akhirat, padahala hakikatnya tutup itu tidak ada. Kalau ada sesuatuyang bisa menutupi Allah berarti sesuatu itu akbaru minhu - lebih besar dibandingkan Allah. Kita harus mulai belajar merasakan bahwa kita sholat, bergerak kesana kemari, Rasulullah mengajari terus menerus mengucapkan bismillahirrohmanirrohim. Sebenarnya untuk apa ? Hal itu adalah minimal agar kita sadar bahwa di balik itu semua ada asmanya Allah sehingga hubungan kita dengan Allah tidak mudah tertutup oleh sesuatu yang sebenarnya sesuatu itu tidak ada. Yang ada itu Allah saja. Kita ini kan hanya cermin. Tetapi manusia menjadi salah manakala bercermin dan mengaku bahwa yang di cermin itu adalah dirinya.

Posisi musyahadah adalah dalam wilayah ruh menjelang wilayah sirr. Jangan diturunkan di wilayah akal, nanti akan menjadi seperti orang membawa cermin tadi yang kemana-mana pengumuman bahwa cermin itulah dirinya. Bias dari ruh adalah qalbu kita ini.
Dilanjutkan dengan sepuluh kaifa [16] : kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwalladzi zhahara bikulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah menyertai segalanya [menyertai itu ya apa saja ada Allah di situ, tetapi sesuatu tidak bisa menyertai Allah, Allah yang menyertai sesuatu], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwalladzi zhahara fii kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah tampak dibalik segala sesuatu, kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwalladzi zhahara likulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah tampak bagi segala sesuatu [Maksudnya kalau Allah tampak bagi segala sesuatu berarti yang lain tidak tampak, lalu jangan yang lain itu kita jadikan tutup wong tidak tampak], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwazh zhahiru qabla wujuudi kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah sudah tampak sebelum segala sesuatu yang ada ini tampak dan ada, kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun wa huwa azh-haru min kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah itu lebih jelas dari segalanya yang ada [Lebih jelas, bahkan saking jelasnya tidak bisa dilihat oleh mata kepala kita dan hanya bisa dipandang oleh mata hati kita. Mata hati kita ini produk akhirat yang ada di dunia sehingga bisa memandang Allah.], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun wa huwal wahidulladzi laysa ma’ahu syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah itu satu-satunya tidak ada yang menyertainya [Satu-satunya itu adalah pernyataan seseorang ketika sudah menafikan semuanya, lalu orang akan mengatakan Kaulah satu-satunya. Hal ini beda dengan Kaulah Maha Esa, beda ! Al wahid itu artinya satu-satunya.], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun wa huwa aqrabu ilayka min kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah maha dekat dibanding apa pun yang dekat dengan kita [Karena maha dekat janganlah membayangkan bahwa kedekatan dengan Allah itu berdasarkan dekatnya jarak, ruang, waktu dan zaman. Hal tersebut tidak bisa untuk mengukur dekatnya Allah.], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun walaulaa hu maa kaana wujuudu kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, kalau tanpa Allah segalanya tidak pernah ada, yaa ‘ajaban kaifa yazh-harul wujuudu fiil ‘adam – sungguh mengagumkan/mengherankan bagaimana engkau bayangkan ada sesuatu yang ada padahal itu ada dalam ketiadaan [Orang itu terhijab karena dia memproduksi sesuatu yang disebut menurut dia ada padahal dalam ketiadaan], kaifa yatsbutul haaditsu ma’a man lahu washfil qidam – bagaimana sesuatu yang baru kita sandingkan dengan sesuatu yang maha dahulu [Itu tidak akan terjadi.].

Jadi sepuluh hal tersebut silahkan Anda tulis, ditempel di kamar Anda, di tempat Anda merenung agar suasana musyahadah dengan Allah dapat terus. “Engkau semua Allah” dan di situlah awal interaktif, awal Anda on line terus dengan Allah lalu Anda akan menyadari bahwa hijab itu ternyata tidak ada. “Kok gusti Allah semua ya?” jadi nanti akan begitu

Tuesday, May 06, 2008

Ahmadiyah Itu Bagian dari Kolonialis Inggris

Oleh Arifin

Sebetulnya bermunculannya orang-orang yang mengaku sebagai nabi palsu sudah ada sejak dahulu kala. Di jaman Nabi saw. masih hidup saja sudah ada orang yang berani mengaku-ngaku sebagai nabi. Yakni Aswad al-’Ansiy dan Musailamah al-Kadzdzab.

Aswad al-’Ansiy sebenarnya adalah Abhalah bin Ka’ab al-’Ansiy. Dia adalah kepala Bani Madzhij di daerah Yaman. Dia seorang tukang tenung (santet), tukang sihir, dan seorang yang kaya raya di Shan’a. Dia sangat berpengaruh di kalangan kaumnya dan banyak yang terpikat kepadanya karena kelebihannya. Banyak orang yang kagum kepadanya karena menyaksikan sihirnya yang menakjubkan. Pada akhir tahun ke-10 Hijriyah, Aswad telah memproklamirkan diri sebagai nabi yang ditunjuk oleh Allah. Menurut pengakuannya dia didampingi oleh dua malaikat yang memberitahukan kepadanya apa saja yang telah dan akan terjadi. Kedua malaikat itu bernama Suhaiq dan Syuqaiq. Sebenarnyalah kedua makhluk yang mendampingi Aswad adalah setan yang biasa mendampingi tukang sihir dan tukang tenung.

Kejahatan Aswad al-’Ansiy akhirnya dapat dihancurkan oleh kaum muslimin. Ia sendiri mati di tangan Fairuz ad-Daylamiy dengan cara dipenggal lehernya dalam keadaan mabuk.

Sedangkan Musailamah adalah Harun bin Habib al-Hanafiy. Dia adalah kepala suku Yamamah. Pada tahun ke-10 Hijriyah, dia bersama rombongannya sebagai utusan dari Bani Hanifah datang menghadap Nabi saw. di Madinah dan memeluk Islam. Namun sekembalinya dari Madinah dia berbalik menjadi kafir, murtad. Dia mendakwakan diri sebagai nabi.

Ternyata, selain punya motif keagamaan, Musailamah juga ingin kekuasaan. Lewat dua orang utusannya ia mengirim surat kepada Nabi saw. Isi suratnya sebagai berikut, “Dari Musailamah utusan Allah kepada Muhammad utusan Allah. Kesejahteraan semoga dilimpahkan atasmu. Aku telah bersekutu dalam urusan kenabian ini denganmu dan bagi kami separuh tanah dan bagi Quraisy separuh tanah, tetapi kaum Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.”

Kejahatan Musailamah baru terhenti di masa kekhilafahan Abu Bakar ash-Shiddiq. Untuk mengatasi kekuatan pasukan Musailamah, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq mengirim pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Walid ra. melalui peperangan yang dahsyat akhirnya kekuatan Musailamah dapat dimusnahkan. Ia sendiri mati ditombak oleh Wahsyi hingga tembus ke tubuh bagian belakangnya.

Tapi ternyata kemunculan nabi-nabi palsu tidak berhenti sampai di situ. Salah satu nabi palsu yang paling ‘ngetop’ adalah Mirza Ghulam Ahmad. Dengan bantuan pemerintah kolonial Inggris, Mirza Ghulam Ahmad mendirikan ajaran Ahmadiyah Qadiyani. Dia sendiri menyatakan sebagai nabi setelah Rasulullah saw. Dia pun memperkenalkan kitab suci selain al-Quran, yakni kitab Tadzkirah. Karena dibantu oleh negara imperialis Inggris maka Ahmadiyah sampai sekarang masih bertahan. Bahkan pusat pergerakan agama itu berada di London.

---

Jemaat Ahmadiyah jelas bukan bagian dari umat Islam Indonesia alias non-Muslim. Jika mereka tetap ngotot minta dianggap Muslim, maka mereka harus membuang Mirza Ghulam Ahmad dan Kitab Tadzkirahnya. Ini harga mati.

Forum Umat Islam (FUI) merupakan salah satu ormas garda depan yang berupaya memberi pencerahan pada umat Islam Indonesia dalam hal ini.

Sebab itu, guna mengelaborasi masalah Ahmadiyah ini maka eramuslim mewawancarai Sekjen FUI Muhammad Al-Khaththath. Berikut petikannya:

Bisa ustadz jelaskan di mana letak kesesatan Ahmadiyah?

Orang yang pertama membuat pengakuan adalah Mirza Ghulam Ahmad, ia membuat pengakuan bahwa dirinya adalah seorang nabi. Dalam pandangan Islam jelas bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, nah itu yang menimbulkan kekesalan di India, daerah asal Mirza Ghulam Ahmad. Pada waktu dalam penjajahan Inggris, Pakistan berusaha untuk memerdekakan negeri Islam di India. Sebenarnya di India itu negara Islam karena yang berkuasa kaum muslimin, meskipun penduduk aslinya beragama Hindu.

Inggris masuk ke India, kekuasaan diambil-alih Inggris. Kemudian dari ajaran Mirza, yang membuat kita menduga kuat bahwa ajaran Ahmadiyah itu buatan Inggris, karena para pengikutnya dilarang untuk berjihad melawan pemerintahan Inggris. Dari sini kita bisa melihat, bahwa mereka adalah bagian dari kolonialis.

Keberadaan Ahmadiyah di Pakistan ditentang rakyatnya sendiri sehingga mereka memindahkan markas besarnya ke London.

Penyimpangannya seperti apa?

Sudah tampak jelas sekali, tidak benar kalau ada yang mengatakan ini khilafiyah. Karena urusan nabi palsu ini adalah hal yang pokok, mendasar, dan sudah ada sejak dulu.
Dari segi ajaran Islam, mereka sudah melanggar sesuatu yang sudah ada dalam Al- Quran Surat Al-Ahzab ayat 40 yang artinya, ‘tidaklah Muhammad itu bapak dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tapi tiadalah dia merupakan rasulullah dan penutup para nabi’.
Ahmadiyah itu mengarang-karang bahwa khatamuun nabiyiin di situ bukan penutup para nabi, tapi sebagai stempel kenabian atau cap kenabian, ini karangan mereka. Padahal dalam hadis sudah jelas, hadis Imam Ahmad At-Tawuud, Imam Turmudzi, maupun Imam Bukhori, menyebutkan ‘aku adalah penutup para nabi, dan tidak ada nabi sesudahku’. Jelas dalam hadis Bukhori, yang mengatakan, tidak ada nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah.

Pada zaman Rasul bagaimana cara mengatasi persoalan nabi palsu. supaya saat ini umat Islam mempunyai refensi yang benar?

Orang yang mengaku dirinya sebagai nabi adalah kesesatan, dan apabila dia menyampaikan kepada orang lain, statusnya menjadi penyesatan. Karena pada zaman Rasulullah itu sudah ada contohnya orang yang bernama Musailamah menulis surat kepada Rasulullah.

Surat berbunyi, ’surat dari Musailamah rasulullah, kepada Muhammad rasulullah’, kemudian Muhammad SAW membalas dengan ‘Surat dari Rasulullah ditujukan kepada Musailamah sang pembohong’.

Beberapa hadis lain menyatakan, ‘kalau sekiranya Muhammad memberikan pangkat kenabian padaku sesudahnya, maka aku akan mengikuti dia’. Artinya apa kalau Muhammad SAW tidak memberikan pangkat kenabian itu kepadanya, dia tidak akan mengikuti Nabi Muhammad berarti dia murtad.

Nabi SAW pun berkata,
‘Andaikan kau meminta pelepah kurma ini aku tidak akan berikan’. Ya pelepah kurma saja tidak diberikan, apalagi pangkat kenabian, ‘karena pangkat kenabian itu tidak bisa diberikan atau diwariskan, tapi itu adalah kehendak Allah SWT’. Kemudian ada dua pengikut Musailamah dari daerah yang letaknya sangat jauh Madinah menyampaikan surat kepada Rasul, lalu Rasul bertanya,
‘Apakah kalian bersaksi aku adalah Rasulullah, lalu keduanya menjawab kami bersaksi Musailamahlah Rasulullah’ jadi mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, baik Musailamah dan pengikutnya yang berjumlah 41 ribu dari kalangan suku bani Hanifah, mereka murtad, padahal sebelumnya mereka muslim. Karena mereka murtad, maka Rasulullah mengatakan lagi kepada utusan itu ‘kalau seandainya aku adalah kepala negera yang membunuh utusan, pasti kalian berdua akan aku bunuh’, tapi ada kesepakatan saat yang mengatakan utusan tidak boleh dibunuh.

Hadist ini dipahami oleh para oleh sahabat bahwa hukuman untuk para pengikut Musailamah dan termasuk dua utusan tidak pada posisi sebagai utusan adalah mereka dihukum mati. Ketika khalifah Abu Bakar, ketika kelompok Musailamah Al-Khalzab bersatu dengan kelompok murtadin, lalu kelompok murtadin ini bahu membahu untuk membangkang pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, kemudian Abu Bakar mengangkat panglima untuk menyampaikan ultimatum dari khalifah kepada mereka, agar segera kembali kepada Islam.

Kemudian keluar ayat terjemahan berbunyi “Tidaklah Muhammad itu melainkan hanya sekedar seorang rasul, telah berlalu rasul-rasul sebelum beliau, kalau sekiranya Muhammad itu wafat, maka kalian berpaling ke belakang (murtad).” Ayat ini yang dipakai khalifah Abu Bakar untuk mengembalikan kaum murtadin ke pangkuan Islam dan menjalankan syariat Islam yang diyakini sebelumnya, apabila mereka menolak bertobat tidak mau kembali kepada Islam maka hukumannya adalah hukuman mati, tanpa pandang bulu. Tapi bagi mereka bertobat, dan diterima kembali sebagai pemeluk Islam.

Apakah pemerintah harus melakukan seperti contoh para sahabat zaman Rasulullah?

Meskinya pemerintah muslim menangani dengan cara-cara seperti itu, contoh di atas memberikan gambaran bahwa nabi palsu bukan baru kemarin, bukan baru Mirza Ghulam Ahmad, di zaman Nabi Muhammad SAW sudah ada, di zaman khulafaurasyiddin sudah ada.
Jangan dibiarkan ada, sebab kalau dibiarkan ada, mereka sangat membahayakan bagi umat Islam, karena mereka melakukan pemurtadan. Jadi contoh di atas, merupakan landasan syari’i yang harus diambil terhadap orang Ahmadiyah. Itu sudah jelas, itu sudah nyata jangan diplintir-plintir ke sana kemari.

Kalau penyelesaian melalui jalan pengadilan seperti yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi?

Kalau mau pengadilan ya pengadilan yang merujuk pada syariat, tapi yang mau diadili apanya. Kalau yang mau diadili sesat atau tidak sesat, mereka jelas sudah sesat, menurut syariat Islam, orang yang sesat harus diminta bertobat, mereka sudah murtad.
Mereka diajak kembali kepada Islam, gampangnya itu saja.
Kalau diadili, tapi tetap dalam kemurtadanya buat apa diadili,
Apanya yang diadili.

Jadi mereka diajak kembali masuk kepada Islam, kalau diajak tidak mau, ya menurut syariat Islam hukumnya dihukum mati.

Kalau mau diadili harus ada Mahkamah Syariah seperti ini, baru bisa. Kalau pengadilannya tidak bisa menilai benar dan tidak sesuai syariah Islam ya susah.

Janganlah merusak ajaran Islam dengan ketidakjelasan. Kita sudah pengalaman dalam kasus Playboy, dibawa ke pengadilan tapi keputusannya tidak jelas. Yang mengatakan tuntutan tidak bisa diterima karena KUHP tidak berlaku, harus mengikuti UU Pers, ya bagaimana kalau terulang seperti tidak akan ada penyelesaiannya.(novel)

Ada Beribu Hikmah dalam Ujian

Orang yang ditahan adalah orang yang ditahan (jauh) dari Tuhannya. Dan orang yang ditawan adalah mereka yang ditawan oleh hawa nafsunya.

Dalam kehidupan ini, kebahagiaan selalu berpasangan dengan kesedihan. Keduanya silih berganti menghiasi hidup kita. Adalah sebuah keniscayaan bahwa satu masa dalam hidup kita, Allah memberikan ribuan karunianya, dan dimasa yang lain, Allah memberi musibah-musibah yang harus kita hadapi.

Entah itu kesenangan ataupun kesedihan, semuanya itu bisa menjadi ujian buat kita. Namun ketahuilah wahai orang-orang yang beriman, yang sedang diuji hidupnya, bahwa anda sangat beruntung. Yaitu Orang-orang yang sabar dalam ujiannya. Karena tidaklah Allah memberikan ujian, kecuali Allah mencintaimu. Ingat sabda Nabi dalam hadist shahihnya, “Barangsiapa yang menghendaki kebaikan, ia akan dikenakan musibah.”

Kemudian juga dalam firmanNya:

“ Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah : 155 – 157)

“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan). Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”(Al-Baqarah : 214)

Ketahuilah sahabat, Allah mengujimu untuk meninggikan derajatmu di surga, karena Ia mencintaimu. Ia mengujimu agar kamu sadar dari kelalaian jiwamu dan agar kamu tidak terlena dengan dosa-dosamu, karena Ia mencintaimu.

Ia mengujimu untuk menghapus kesalahanmu, karena Allah ingin mengharamkan nerakaNya darimu.

Ia mengujimu agar kamu menyadari nikmat-nikmat Nya sehingga kamu dapat mensyukurinya, karena Ia mencintaimu.

Ia menguji kamu agar kamu mengetahui nilai dunia dan hakikatnya, sehingga kamu menyadari betapa bernilainya akhirat, ini juga karena Ia mencintaimu.

Ia mengujimu supaya kamu ridha kepadaNya, sehingga kamu berhak mendapatkan ridha dari-Nya, karena Ia mencintaimu.

Ia mengujimu agar kamu merasa rendah di hadapan-Nya, sehingga kamu senantiasa berdoa di malam hari dan berharap Allah segera mengabulkan doamu, serta mengganti satu nikmat yang telah hilang dengan nikmat lain yang berlimpah, karena Allah mencintaimu.

Ia mengujimu agar kamu masuk surga dengan jalan yang sangat mudah.

Ia mengujimu untuk mendidikmu agar dapat bersikap proporsional terhadap apa yang Allah karuniakan ataupun apa yang Allah ambil kembali darimu.

Ia mendidikmu dan itupun karena Ia mencintaimu.

Seperti FirmanNya dalam Al-Qur’an :
“Setiap bencana yang menimpa di Bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.(Al-Hadid : 22 – 23)

Demikian sahabat, ada beribu hikmah dalam ujianNya. Kita tidak boleh meminta ujian tersebut, dan hendaklah bersabar saat kita harus menghadapinya. Kita harus senantiasa mencari hikmahnya dan berprasangka positif kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Mengetahui, telah mentakdirkan yang terbaik untuk hambaNya yang beriman dan berbuat kebaikan.

Masih ingat kisah nabi Musa dan Khidir? Ketika itu, Musa tidak bisa bersabar terhadap ketiga hal yang dilakukan oleh Khidir. Ketidaksabaran Musa ini lantaran Musa melihat hal tersebut sebagai suatu kedzaliman, padahal sesungguhnya tidak demikian. Karena Khidir melakukannya atas dasar petunjuk dari Tuhannya.

Tampak mendzalimi karena kita kurang berpengetahuan terhadap hal-hal tersebut. Bahwa hal-hal yang tampaknya mendzalimi itu, sebenarnya merupakan jalan menuju rahmat dan kasihsayang Allah untuk hamba-hambaNya yang sholeh.

“….Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu , padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-baqarah : 216)

Begitulah sahabat, jika kita menyerahkan sepenuhnya segala masalah yang kita hadapi kepada Allah Ta’ala. Kemudian, menyadari diri kita dan segala apa yang kita cintai adalah milik Allah yang hanya dipinjamkan olehNya kepada Kita, maka hati kita akan terasa lapang dan tentram saat menghadapi ujianNya. Hati kita akan ikhlas ketika Allah mengambil kembali apa yang memang menjadi kepunyaanNya.

“…Barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut dan tidak bersedih hati.” (Al-Baqarah : 112)

Contoh Ketangguhan Para Nabi dan Salafussholeh dalam Menghadapi Ujian

Kita tahu bahwa dinul Islam, yang kita yakini sekarang, juga dibangun oleh perjuangan para Nabi dan salafussholeh. Perjuangan yang diwarnai dengan cobaan dan penderitaan yang sangat berat. Dan tentu saja ujian ini jauh lebih berat dari ujian yang kita rasakan sekarang.
Ingat, cobaan Nabi Muhammad SAW saat berdakwah di tanah Thaif. Ketika itu, terjadi Penolakan bani Abdu Yalil terhadap dakwah beliau. saat itu, Nabi dituduh sebagai pembohong besar. Dan bukan hanya itu, orang-orang bani Abdu yalil juga melempari beliau dengan batu secara bertubi-tubi.

Akibatnya beliau terjatuh ke tanah. Lalu dengan susah payah beliau berusaha bangkit kedati lemparan batu itu masih terus menghujani beliau. Sementara itu, anak-anak kecil berlari-lari dibelakang beliau, sembari mengolok-olok beliau dengan cercaan,” dungu” dan “gila”.

Ditengah gelombang ujian dan cobaan berat itu, terucaplah sebuah doa yang lahir dari kejujuran hati beliau, yaitu doa penuh pengharapan akan segala rahmat dan ridha-Nya. Berikut doa yang beliau ucapkan :

“Ya Allah, aku mengadukan kepada Engkau akan segala kelemahanku, sedikitnya kemampuanku dan kehinaanku dimata manusia. Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau menyerahkan daku, apakah kepada kaum yang tak berkenan menerimaku dengan sikap yang tidak menunjukkan keramahan (menyakiti), ataukah Engkau menyerahkan aku kepada para musuh? Jika bukan karena kemurkaan-Mu, aku tidak akan pernah peduli. Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menerangi semua kegelapan dan membuat urusan dunia dan akhirat menjadi baik, dari turunnya kemurkaan dan marah-Mu atasku. Peringatkanlah aku hingga Engkau ridha. Tiada daya dan upaya selain dariMu.”

Dan Allah pun segera mengabulkan doa yang tulus tersebut dan segera mendatangkan bantuan.
Contoh dari ketangguhan orang-orang sholeh terdahulu dalam menghadapi ujian dapat kita lihat dari Ibnu Taimiyah.

Ingat bahwa ketika Ibnu Taimiyah dimasukkan ke dalam penjara di Qal’ah (benteng), beliau berkata,”Apa gerangan yang akan diperbuat musuh-musuhku! Surga dan kebunku berada didadaku, kemana saja aku pergi ia senantiasa bersamaku. Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya bersamaku. Jika mereka membunuhku, maka kematianku adalah syahid. Jika mereka mengasingkanku, maka pengasingan bagiku merupakan kesempatan untuk santai. Jika mereka memenjarakanku, maka penjara bagiku laksana tempat khalwat-ku. Orang yang ditahan adalah orang yang ditahan (jauh) dari Tuhannya. Dan orang yang ditawan adalah mereka yang ditawan oleh hawa nafsunya.”

Murid Ibnu Taimiyah yang cerdas, Ibnul Qayyim al-jauziyah mengatakan, “demi Allah, aku tidak melihat seorang pun yang lebih enak dan santai hidupnya dari beliau. Walaupun hidupnya serba sulit tetapi ia tetap orang yang paling lapang dadanya, paling kuat hatinya dan paling gembira jiwanya. Dari wajahnya memancar cahaya penuh kedamaian.”

Melakukan apa yang telah penulis tuliskan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan hanya dengan pertolongan Allah sajalah kita dapat menghadapi ujian tersebut dengan hati yang ridho.

Oleh karenanya, jangan pernah bosan untuk berdoa agar Allah mengkaruniakan hati yang senantiasa bersyukur atas segala NikmatNya, ridho dengan apa yang dikehendakiNya dan mohon juga padaNya agar Allah senantiasa memberkahi apa-apa yang telah Ia takdirkan untuk kita.

Dan jadilah orang yang paling berbahagia, karena sesungguhNya Allah telah menyediakan tempat kesudahan yang baik bagi orang-orang yang sabar, seperti dalam firmanNya :
“Dan orang-orang yang sabar karena mengharapkan keridho-an Tuhannya, melaksanakan sholat, menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang –orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik. Yaitu surga ‘adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang-orang yang sholeh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya dan anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.(sambil mengucapkan) “selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu”. Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” (Ar-ra’d : 22 - 24)
(Auyisa/euis)

*Terinspirasi oleh buku “Ketika Allah Berbahagia”, Dr. Khalid Abu Syadi